All Chapters of Ditinggal Suami Dinikahi Bos: Chapter 31 - Chapter 40
143 Chapters
32. Pamit dan Restu
Setelah memastikan uang pinjaman dari Martia cukup, aku mulai memilah baju-bajuku yang masih berada di dalam koper. Tidak semua kubawa untuk perjalanan kali ini. Beberapa potong baju kusisakan di lemari kamar masa kecilku. Semua masih sama. Dipan dan kasur belum diganti sejak SMP sampai saat ini. Dulu sempat aku ingin membelikan yang baru. Namun, Ibu menolaknya.“Biar ada sejarahnya, Mir. Biar anak kamu juga tahu rasanya tidur di kasur yang tidak empuk,” gurau Ibu kala itu.“Tapi kasihan Akila, Bu. Takutnya gak nyaman.” Aku masih ingin menunjukkan bahwa setelah menikah hidupku berkecukupan. Bahkan mampu membelikan banyak barang yang belum bisa terbeli oleh ibu.“Ya gak gitu, Mir. Kalau mau yang nyaman kan bisa di kamar depan. Khusus buat Baja kalau semisal di sini terasa sempit buat kalian bertiga. Toh, di sana juga spring bed-nya baru, ‘kan?” Ibu mengingatkan tentang kamar depan. Sebuah kamar hasil sekat di ruang tamu.“Iya, deh. Bilang aja ibu gak mau Amira repot beli ini itu. Gitu,
Read more
33. Hipotermia
Hari berikutnya aku berangkat lebih pagi. Setelah melakukan dua rakaat subuh dan menerima bekal sarapan yang ibu buatkan. Kesehatan ibu benar-benar cepat. Mungkin berada di rumahnya, beraktivitas dan menghirup udara segar di desa, membuat tubuhnya semakin bugar. Orang tua kadang memang demikian. Kesehatannya sejalan dengan apa yang dipikirkan.“Amira pamit, ya, Bu. Ibu kalau ada apa-apa telepon Amira saja. HP butut udah normal lagi, Bu.” Aku sudah selesai memanaskan motor matic merah dan bersiap berangkat.“Iya, Mir. Kamu juga jangan lupa kabari ibu kalau sudah sampai. Kebiasaan kamu kan gak pernah ngasih kabar.” Ekspresi wajah ibu tampak datar.“He, maaf, Bu.”“Ya sudah sana berangkat. Hati-hati, ya. Salam buat Akila kalau kamu sudah bisa ketemu sama dia.”“Ya, Bu. Pasti.” Kucium punggung tangan ibu takzim seraya meminta restu. Mengucap salam kemudian.Perjalanan pagi kali ini akan terasa berbeda. Jika beberapa waktu lalu aku berjalan dengan membawa segudang masalah, kali ini aku mem
Read more
34. Bergerak dan Berusaha
Aku terkesiap. Sejenak hanyut dalam kalimat yang dilontarkan Mas Arhab. Tidak. Tidak bisa kamu memutuskan dengan buru-buru Amira. Ingat tujuan yang sudah kamu tetapkan sebelum berniat kembali ke kota. Kamu harus lurus memenuhi prinsip itu. Bisikan kuat di telinga kanan membawaku dalam kesadaran penuh. Segera aku mengulas senyum pada Mas Arhab yang wajahnya tampak memerah. "Mas, aku berangkat dulu, ya. Janjian sama seseorang sebelum jam makan siang. Takutnya terlambat," ujarku seraya berdiri. Merapikan meja minimarket dari botol air mineral yang telah kosong."Eh, ketemu siapa, Mir? Suami kamu?" Mas Arhab tampak ingin memastikan sesuatu. Selepas menaruh sampah itu pada tempatnya, aku pun mengangguk untuk bisa mengakhiri obrolan tak bertepi ini."Oh, gitu. Ya udah hati-hati, Mir. Pastikan kamu ingat pesanku, ya," tegasnya.Kusunggingkan senyum. Lantas mengangguk lemah. Mengenakan kembali jaket tebal dan sarung tangan. Mau sebaik apa pun dia saat ini, dia pernah mematahkan hatimu, A
Read more
35. Kejutan Tak Terduga
Mobil Bos Teo melaju di jalanan kota. Aku yang belum tahu lokasi makan siang, terpaksa membuntutinya dengan kecepatan yang kusesuaikan. Sepanjang perjalanan aku menebak sendiri apa yang akan menjadi pekerjaanku nanti. Semoga pekerjaan yang ditawarkan Bos Teo nantinya tidak melenceng dari kualifikasi yang kupunya. Menjadi admin perusahaan atau hal-hal yang masih berkaitan dengan administrasi, tentu aku bisa. Kalau bidang lain, tak yakin bisa kulakukan atau tidak.Mobil Bos Teo berbelok ke arah kanan dari jalanan utama. Menepi sedikit dari keriuhan kota. Tidak terlalu jauh. Bos Teo pun memasuki gerbang yang terbuka dan memarkirkan mobilnya di area parkir yang disediakan pemilik bangunan. Aku melakukan hal yang sama. Halaman restoran terlihat cukup luas. Dikelilingi tanaman hijau yang menyejukkan mata. Kurapikan baju beserta rambut. Melangkah menuju tempat Bos Teo berdiri. "Ayo!" seru Bos Teo. Lagi aku membuntuti langkahnya. Rupanya bangunan berlantai dua di depan hanya sebagai paga
Read more
36. Tawaran Menggiurkan
"Kalau Mbak mau cepat selesai, Mbak gak usah datang. Lagian udah gak ada lagi yang perlu diharapkan dari Mas Baja, Mbak." Ajiz menarik kembali fokusku."Apa begitu alurnya, Jiz?" tanyaku basa basi. Meski sebenarnya aku pun tahu.Ajiz mengangguk. "Iya, Mbak. Sebentar lagi juga Mas Baja mau nikah sama Raline."Deg!Menikah? Secepat itu?"Iya, Mbak. Keluarga besar sudah mempersiapkannya." Ajiz bisa menebak gurat wajahku.Hatiku pun mencelos. Cinta tak selalu berakhir bahagia. Semudah itu sirna dan berganti dengan cinta baru."Ibu!" teriak Akila dari halaman restoran."Ya!" jawabku semangat meski hati rasanya tersayat."Ya sudah aku mau pamit, Mbak. Tadi izin ajakin Akila gak lama. Kalau misal Mbak Amira beneran kerja di sini, kapan-kapan aku mampir lagi bawa Akila.""Gak nanti, Jiz? Aku masih mau sama Akila.""Gak bisa, Mbak. Aku takut Bude nyariin. Mbak bisa ngobrol dulu bentar. Aku ketemu Teo dulu." Ajiz nyaman saja memanggil nama Bos Teo. Segera kuberdiri. Berlari menuju Akila berada
Read more
37. Impas
Zaman sekarang berkomunikasi lewat media juga tak selalu mudah. Saat ibu lebih memilih ponsel lamanya dibandingkan versi android yang pernah kubelikan, rasanya kemajuan teknologi semacam itu tak selalu tepat guna. Menghubungi ibu terkadang tidak bisa dilakukan dengan cepat. Sudah pasti beliau tengah asik di kolam ikan lele atau kebun belakang. Ibu tipe orang yang tidak bisa diam. Setelah mencoba panggilan suara hingga tiga kali dan tetap tidak ada jawab dari beliau, aku pun hanya mengirimkan pesan singkat.[Amira sudah sampai]Kembali kuletakkan ponsel ke dalam tas. Lalu menatap ke luar jendela. Bos Teo sudah berada di bawah. Tangannya melambai. Mengintruksikanku untuk cepat turun. Dengan segera aku meninggalkan ruangan yang nantinya akan sering kukunjungi."Melamun itu gak baik buat kesehatan, Amira. Nanti kamu bisa kesambet." Bos Teo duduk di kursi tempat kami makan siang tadi."He, Ya, Bos.""Ini kunci cadangan ruang atas. Semisal kamu tidak menemukan tempat kos atau kamu harus le
Read more
38. Lelaki Bermata Biru
Langit sore perlahan turun ke bumi. Sebagai tanda pergantian waktu akan tiba. Saat matahari kembali ke peraduan dan bergantikan bulan, satu hari jatah hidup manusia berkurang dengan sendirinya. Karena esok, masih menjadi rahasia bagi makhluk paling sempurna itu. Di keramaian sebuah rumah makan aku menekuri kejadian yang terlalui. Harusnya tak perlu ada insiden lemparan telur-telur dan cekcok di rumah ibu mertua. Tak perlu juga ada cacian untuk saling menyakiti. Namun, roda hidup seolah tak seru jika ia tak mempermainkanku seperti itu.Segelas teh hangat yang kupesan terasa asin. Buliran air dari pelupuk mata sedikit tercampur saat aku meneguknya. Sudah hampir petang dan aku belum menemukan tempat untuk menginap. Malam ini akan terlalui lebih lama lagi. Ponsel yang sudah berada dalam mode diam kulirik sekilas. Untuk memastikan apakah sudah ada balasan dari Ibu atau belum. Sialnya justru panggilan dari orang yang sejak tadi mencoba menghubungiku, datang membuat getar. Kubiarkan pangg
Read more
39. Rasa yang Entah
"Saya terima nikah dan kawinnya Amira binti Arman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" seru beberapa orang yang ikut menyaksikan ijab kabul kami. Setelah mengaminkan doa Pak Penghulu, aku mencium punggung tangan Mas Baja dengan tersedu. Setelah beberapa waktu tak mengenal figur seorang pelindung, akhirnya hari ini aku memilikinya. Samar terdengar tangis ibu yang tak bisa menahan haru. Aku pun menoleh ke arahnya. Anggukan dari beliau meyakinkanku bahwa jalan ini yang terbaik untuk kami. Buku bersampul hijau tua dan merah itu kami tanda tangani secara bergantian. Foto dengan background biru juga tersemat di sana. Selepas ini perilaku, sikap, serta semua hal yang berkaitan denganku berpindah di tangan Mas Baja. Laki-laki dengan gelar suami tersemat di pundaknya.Mas Baja mengulas senyum. Ia tak kalah lega setelah akhirnya berhasil mengikatku dalam ikatan suci. Pendar di matanya tak berhenti menyala sejak pagi hingga siang ini. Dengan lembut, Mas Baja menaruh telap
Read more
40. Paradoks Kehidupan
Pagi kembali menyapa dengan sinar keemasan nan elegan. Membangkitkan kembali jiwa yang bersimbah luka setelah tidur lelapnya. Tak peduli seberapa banyak linangan air mata semalam, hari ini tetaplah hari pertama bagiku masuk kerja.Segera kusibak selimut yang membungkus tubuh. Pukul enam pagi bahkan alarm di hp tidak berhasil membangunkanku. Gedoran pintu dari luar lah yang membuatku berhasil membuka mata. "Bisa gawat semua," racauku seraya mencari sikat gigi. Salah satu item penting yang biasanya kuletakkan di tas kecil."Kamu lupa jam kerjamu, Amira?! Hah?!" Teriakan itu terasa lebih mengerikan dibandingkan saat dulu kami masih di perusahaan. Dulu masih ada pelapis Pak Ginanjar yang biasanya memberi aba-aba saat Bos Teo akan datang. Sekarang semua langsung berhadapan seperti ini."Sebentar, Bos. Saya lagi siap-siap!" jawabku sekenanya. Tiga puluh menit kemudian aku berhasil keluar dari kamar. Wajah Bos Teo sudah ditekuk seperti lipetan baju yang kusut. Tangannya bersedekap. Beliau
Read more
41. Dua Belaa Juta yang Melayang
Waktu melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Tepat mengenai sasaran saat dilakukan oleh seorang profesional. Hari pertama bekerja dengan segudang tanya pun terlewati begitu saja. Semua terasa lebih singkat karena tak ada ruang untukku bersedih. Kamar kos pemberian Bos Teo terus kutinggali hingga hari ke tujuh setelah aku kembali ke kota. Semalam Arga sudah menjelaskan terkait proposal pengajuan daftar menu untuk makan siang di perusahaan Aditama. Arga juga sudah resmi mengundurkan diri dari pekerjaannya di tempat lama. "Pagi, Mbak," sapanya saat aku datang ke ruang kerja. Bos Teo tidak memberiku kunci lagi. Beliau membuka kantor lebih pagi."Pagi, Ga," jawabku seraya menyalakan komputer."Mbak Amira sudah siap?" tanya Arga begitu aku duduk di kursi kerjaku. Seakan tak yakin aku bisa melakukannya."Siap gak siap tetap harus siap, 'kan, Ga?""Iya, deh. Ya udah print dulu proposal yang semalam aku kirim, Mbak. Jam sembilan nanti kita berangkat." Arga memerhatikan jam
Read more
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status