All Chapters of Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya: Chapter 61 - Chapter 70
110 Chapters
42 B
Aku yakin, Bu Rahimah juga mengajarkan putrinya hal serupa, menghormati keluarga suami. Aku ingin kelak memiliki istri yang memuliakan kedua orang tuaku dan juga Om serta Tante yang banyak berkontribusi atas keberhasilanku saat ini. Sempat juga berkenalan denagn beberapa gadis kota, tapi belum apa-apa mereka sudah banyak mengatur, termasuk tidak boleh memberikan uang pada keluargaku lagi karena istri harus prioritas.Astaghfirulloh. Aku bekerja keras untuk kebahagian keluarga besar serta istri dan anakku kelak. Bagaimana bisa aku memilih salah satu di antaranya? Tentu keduanya pihak itu sama-sama berharga.“Ibu dan Sri mau ke pesta nikahan sebentar. Gak apa-apa kan kalau Rian ditinggal sama Bapak?” tanya Bu Rahimah.“Gak apa-apa, Bu.” Aku jadi canggung karena mengingat ibunya Alina yang memberikan surat tadi pada Raka. Pasti sudah dibaca juga.“Aku juga harus siap-siap nih, Rian. Bapak lagi sakit dan aku yang harus gantikan. Kalau bisa, nanti aku bakalan cepat pulang kok.”“Iya.”Aku
Read more
43 A
“Kok balik lagi, Alin? Kamu gak jadi pergi?”“Kadoku ketinggalan, Pak. Motornya kuparkir di tepi jalan, gak masuk halaman. Tapi apa maksud restu itu, Pak?”Wajah Alina kelihatan tak bersahabat. Aku dan bapaknya Alina jadi berpandangan. “Ini, ada yang mau dikatakan Rian sama kamu. Duduklah dulu.”Alina duduk di dekat bapaknya, tapi menghindari berhadapan denganku. Aku meremas-remas tangan, tak tahu mau bilang apa. Apa tak bisa aku mengungkapkannya berdua saja? Tapi sepertinya ini momen yang pas karena bapaknay juga sudah tahu tujuanku.Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “A-aku mau ....”Segala kosa kata mendadak hilang. Beginikah rasanya jatuh cinta? Apa gugup selalu mendera jika ingin mengungkapkan perasaan untuk dibawa ke jenjang yang serius?“Aku mau pergi dulu, Pak. Nanti Ibu dan Kak Sri lama nungguin.”Wanita bergamis warna hijau kombinasi polkadot kuning itu berdiri dan masuk ke kamar paling depan, lalu keluar lagi membawa plastik warna putih. Aku gagal mengungk
Read more
43 B
“Aamiin aamiin. Kami doakan agar benar-benar kejadian. Kalian serasi banget,” balas wanita itu dengan wajah ceria.“Lisda, awas saja suaminya kena pecat,” cetus Alina. Seketika semuanya hening, hanya anak-anak saja yang masih terus mengobrol.Aku tidak bisa menebak pikiran Alina sehingga memilih diam saja. Mau kemana juga aku segan bertanya. Hingga hampir satu jam perjalanan, kami sampai ke sebuah waterpark yang tidak begitu ramai. “Cici dan Abang Ahmad mau mandi gak?” tanya Alina.Dua bocah itu menganggukkan kepala.“Ayo duluan keluar, Bang. Anak-anak udah tak sabar ini,” ujar janda anak satu itu. Aku tersenyum tipis, akhirnya berhasil juga membuatnya bersuara. Aku duluan keluar dan membantu menurunkan Cici dan Ahmad. Menggendong keduanmya di pinggang dan berjalan mencari gazebo yang kosong untuk tempat istirahat serta menaruh baju.“Abang yang menemani mereka mandi, ya.”Akhirnya kalau aku diam, dia bersuara lagii. Nada bicaranya juga tak ketus.“Tapi Abang gak bawa baju, Dik.”“Di
Read more
44 A
Setelah gombalan buaya darat yang spontan kuucapkan pada Alina, aku selalu menghindari tatapan darinya. Malunya itu sampai ke ubun-ubun. Aku jadi menyibukkan diri dengan Ahmad dan Cici. Mengambilkan apa yang mereka mau saat makan. Mungkin dia berpikir kalau ini kayak pencitraan, tapi aku benaran tulus sayang pada anak-anak ini.“Jadi kita mau kemana lagi, Alina? Anak-anakku udah terus menguap nih,” ujar wanita bernama Lisda itu.“Kita pulang sajalah. Dua bocah ini juga udah menguap terus, tapi kalau dibawa main-main lagi, pasti mau juga. Imbasnya nanti malam. Kalau mereka kecapean, bisa rewel dan tidak bisa tidur,” balas Alina.Wanita yang sudah mendapat restu dari Emak itu berdiri, tapi kutahan. Aku yakin dia mau ke kasir.“Biar Abang yang bayar tagihannya, Alin.”Sebagai seorang laki-laki, aku tidak keberatan membayar semua makanan yang sudah dipesan, meskipun uangnya lebih banyak.Alina tersenyum sekilas. “Aku gak mau ke kasir kok, Bang. Memang Abang yang harus bayar. Kan yang ngaj
Read more
44 B
Sore harinya, Raka mengajakku melapor ke rumah kepala desa karena akan menginap di rumah salah satu warganya. “Oh, ini yang namanya dokter Rian? Yang dulu banyak membantu Alina dan Bu Rahimah saat di kota?” celetuk Ibu kades. Aku tersenyum sambil mengangguk. Aku jadi malu, yang kulakukan hanya sedikit, tapi ibunya Raka terlalu memujiku.“Ternyata orangnya ganteng, ya. Udah punya anak berapa, Dek?” tanyanya lagi.“Masih jomblo, Bu,” balasku, tersenyum hambar. Perasaan mulai tak enak. “Masih jomblo? Tapi tak punya kelainan kan? Zaman sekarang banyak laki-laki tampan suka sama yang ganteng. Udah populasi laki-laki sedikit, eh malah belok. Akhirnya para wanita harus wapada kalau suaminya akan diincar orang lain.”Aku meneguk ludah. Lancar banget omongannya. Pak Kades langsung menyenggol lengan istrinya, barulah ibu itu meminta maaf.“Doakan saja, ya, Bu, Pak. Teman saya ini udah punya calon kok,” ujar Raka.“Iya, iya. Semoga saja berjalan lancar.” Pak Kades menimpali.Raka pun langsung
Read more
45 A
“Ibu senang sekali, rupanya Rian sukanya sama Alina, bukan sama Ibu,” kekeh Bu Rahimah. Kini semuanya berkumpul di dekat kami. Aku semakin deg-degan dan juga malu. Kapan aku pernah mengatakan suka pada ibunya Alina?“Maksud Ibu apa? Masa Rian suka sama nenek-nenek dan masih punya suami juga. Mau dikemanakan suamimu ini, Bu?” Lelaki paling tua di antara kami mengegeleng-gelengkan kepala.“Jangan salah paham, Pak. Ibulah yang salah tangkap maksud Rian waktu di rumah sakit itu. Kirain dia suatu saat mau ijab qobul dengan Ibu, rupanya ingin disahkan sama putri kita. Ibu benar-benar tak kepikiran waktu itu kalau Rian suka sama Alina. Ibu lagi terpuruk dan fokus akan kesembuhan putri kesayangan kita,” kenang Bu Rahimah.Aku tersenyum cengengesan mengingat saat aku keceplosan dulu. Tapi aku tak menyangka kalau Bu Rahimah berpikir yang lain-lain. Aku menghindar darinya karena malu waktu itu. Segan jika diinterogasi dengan maksud pernyataanku itu. Kalau kuperjelas perasaanku pada Alina saat d
Read more
45 B
Aku menarik napas panjang dan mengulas senyuman tipis. Hari ini adalah penentu masa depanku agar bisa berkumpul dengan wanita yang kucintai. Wanita yang sering kusebut namanya dalam doa agar kesembuhan dan keselamatan selalu menyertainya. “Jika diizinkan, rencananya setelah menikah, saya akan memboyong Alina nantinya ke kota. Begitu juga dengan Cici. Orang tua kandung dan angkat saya ada di sana. Tapi saya janji, kami kan tetap mengingat kampung ini. Kita masih akan saling mengunjungi.” Aku menjeda ucapan, mengamati raut wajah anggota keluarga. “Jika Alina masih mau mengajar Paud, saya akan dirikan sekolah buatnya nanti. Tapi jika mau fokus dengan keluarga saja, tidak apa-apa. Secara finansial, Rian sanggup menghidupi keluarga kecil kami nantinya dengan layak,” tegasku.Aku tahu kegundahan keluarga ini. Pastinya karena aku dan mantan suami Alina tinggal di kota yang sama. Aku tak pernah dengar kabar mereka lagi. belakangan ini, aku juga tak sempat baca koran maupun berita online ka
Read more
46 A
Setelah dua tahun, datang seorang laki-laki yang baik ingin meminang putriku. Laki-laki yang kami kenal sebelumnya dan juga sahabat putraku. Apa lagi yang paling membahagiakan bagiku selain melihat anak-anak semuanya bahagia? Sebelum putriku menikah lagi, seperti ada beban di dada ini. Tanggung jawab terhadapnya seolah belum berakhir. Namun, aku ingin memastikan kalau jawabannya tadi sore jujur dari hati, bukan untuk menyenangkan hati orang tuanya semata.Di kamar Alina kini aku berada, menyisir rambutnya yang panjang dan berwarna kelam. Aku duduk di pinggir tempat tidur, sedangkan Alina di atas kursi plastik yang tingginya sekitar 30 sentimeter. Aku senang saja menyisirnya setiap malam jika sedang tidak lelah.Untuk menghindari fitnah, malam ini Rian tidur di rumah Raka. Sedangkan menantuku akan tidur di rumah ini bersama kami. Kedua cucuku masih bermain di ruang tamu, ditemani Sri. Suamiku sendiri sudah tidur, tak berselang setelah kami makan malam.“Alina!”“Iya, Bu.”“Apa kamu ben
Read more
46 B
Setelah Cici lelah mengoceh, putrinya Alina pun mulai menguap. Aku memintanya dari Rian dan merebahkan cucuku itu di antara aku dan Alina. Bersama waktu yang terus merangkak, mataku pun ikut terlelap. Mungkin karena jalanan yang sudah bagus dan juga sopir yang profesional, aku jadi tidak terantuk-antuk sehingga baru terbangun saat suara azan subuh berkumandang .Kami singgah di sebuah mesjid yang ramai sekali para jamaahnya. Di zaman sekarang, ternyata masih banyak anak-anak remaja yang mau bangun dan meninggalkan selimutnya demi sholat berjamaah. Kelak jika tubuh ini sudah menyatu dengan tanah, maka yang kuharapkan adalah doa-doa dari anak-anakku. Semoga saja mereka tetap mengingat orang tua. Doa dan amal baiklah penyambung hubungan orang tua dan anak yang sudah berbeda alam.Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah omnya Rian. Karena sudah dikabarkan akan datang, keluarga Rian berkumpul di sana. Memang kurang lazim jika keluarga perempuan mengunjungi rumah calon besan, tapi sebagai
Read more
47 A
“Ya Robbi, bahagiakanlah Bang Rian dimana saja dia berada dan dengan siapa pun kini dia tertawa dan menyulam cinta.”Doa-doa serupa sering kulantunkan, apalagi wajah itu sering hadir dalam mimpi. Namun apa jadinya jika lelaki yang sering kudoakan malah berdiri di depan mata dan ternyata masih sendiri. Dubh dubh dubh.Jantung memompa darah lebih kencang. Sebagai seorang wanita, tentu aku malu jika mengatakan perasaan lebih dulu. Menjadi cuek adalah jalan ninja agar diri ini tidak salah tingkah. Dan kini, aku tak mau menolak lagi. Sangat jarang kesempatan kedua datang, dan tidak boleh kusia-siakanHati dan fisikku siap menjadi seorang istri. Ya, kini aku jadi calon istri seorang lelaki bernama Rian Irwansyah. Demi melegakan hati Ibu dan Bapak, di rumah Om Sandiaga-lah kami kini berkumpul. Baru pertama bertemu, tapi aku merasa seperti sudah kenal lama dengan mereka. tak ada sama sekali yang mengungkit statusku yang seorang janda.“Alina, tolong jangan menikah dengan orang lain. Tolong b
Read more
PREV
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status