All Chapters of Unexpected Wedding: Chapter 91 - Chapter 100
206 Chapters
Bab 91
Raga bersiul panjang, saat baru memasuki kamar. Segera menutup pintu, lalu menguncinya. “Ngapain dikunci!” Lintang menghardik, dan melebarkan bola matanya. “Jangan macam-macam, aku sudah dandan maksimal dan nggak bol—”“Sssttt.” Raga yang baru menghabiskan jarak, segera meletakkan telunjuk di bibir berlapis lipstick warna peach itu. “Aku cuma mau meluk.”Selanjutnya, Raga benar-benar merengkuh tubuh Lintang ke dalam pelukannya. Setelan kebaya modern berwarna hitam yang dikenakan Lintang malam ini, sungguh membuat penampilan istrinya itu semakin sempurna. “Nanti, pulang dari rumah pak Anwar, jangan dibuka dulu kebayanya,” pinta Raga masih memeluk sang istri. “Biar aku yang buka. Hitung-hitung, ngulang malam pertama.”Lintang hanya pasrah, dengan memajukan bibir di pelukan Raga. “Berasa buka kebaya pengantin gitu, ya?” Raga terkekeh, dan semakin mengeratkan pelukannya. Banyak sekali penyesalan, karena pernah memperlakukan Lintang secara buruk di masa lalu. Untuk itulah, Raga berusaha
Read more
Bab 92
“Mas …” Lintang mencebik saat baru keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Raga yang sudah mapan di tempat tidur, lalu merebahkan diri di atas tubuh sang suami. “Adeknya Rama nggak jadi lagi.” Raga tidak langsung merespons. Ia berpikir sebentar, lalu menghela sama. Tamu bulanan istrinya pasti kembali datang, karena itulah Lintang mendadak menjadi sendu. “Sayang.” Harus berapa kali Raga katakan, ia tidak pernah menuntut apa pun pada Lintang. Ada anak atau tidak, semua adalah otoritas dari Yang Kuasa. “Nggak usah terlalu dipikirkan. Sudah aku bilang—” “Mas Raga itu nggak tahu rasanya jadi cewek.” Lintang bangkit dari tubuh Raga, lalu menggeser posisinya ke samping pria itu. Ia menarik selimut, sembari berbaring lalu memunggungi sang suami. “Mas juga mana ngerti rasanya jadi istri.” “Dan kamu juga nggak tahu rasanya jadi suami. Kamu nggak—” “Mas!” Lintang berbalik cepat dan mendelik pada Raga. “Kamu itu—” “Aku masih mau pacaran, Sayang,” putus Raga terburu, sebelum Lintang berceram
Read more
Bab 93
“Dingin, ya.” Karena mereka sampai di tujuan hampir menjelang malam, maka Lintang merasakan perbedaan suhu yang sangat berbeda. Dari Jakarta dan Surabaya yang panas, akhirnya mereka berdua sampai di daerah yang membuat Lintang harus mengancing jaketnya rapat-rapat.“Justru asyik, kan.” Raga mengerling lalu merangkul Lintang, setelah menyelesaikan beberapa hal di resepsionis. Mereka kembali keluar gedung hotel, lalu menaiki buggy car untuk menuju ke tempat selanjutnya.“Asyik gimana?” Lintang berdecak, lalu menyikut perut Raga karena tahu ke mana arah pikiran suaminya itu. “Aku bisa flu kalau begini. Untung cuma sehari, dua malam.”“Siapa bilang?” Raga terkekeh, dan kembali memberi kerlingan pada sang istri. Akhirnya, rencana bulan madu bersama Lintang terwujud sudah. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Raga berbohong pada Lintang. “Kita pulang hari minggu.”“MINGGU!”“Ssstt.” Raga merapatkan tubuh Lintang yang duduk di sebelahnya. “Kita itu lagi jalan ke villa.”“Villa? Kita ngina
Read more
Bab 94
Lagi, Raga mendengar istrinya itu bersin untuk yang kesekian kali. Dari bangun tidur subuh tadi, sampai matahari sudah menampakkan sinarnya, Lintang masih saja bersin-bersin. Raga sudah memesan teh hangat, susu hangat, jahe hangat, dan makanan berkuah yang harus masih panas, ketika sampai di villa mereka. Namun, tetap saja istrinya itu bersin-bersin dan enggan beranjak dari tempat tidur.“Ayo ke dokter, atau titip beli obat di—““Aku nggak sakit,” sela Lintang merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan, selera makannya juga meningkat dua kali lipat dari biasanya. Pagi ini saja, Lintang sampai meminta jatah soto Raga untuk dihabiskan. “Kayaknya, aku alergi dingin.”“Tapi tadi malam nggak papa.”“Nah! Semalam itu kayaknya yang jadi penyebabnya.” Lintang menarik selimutnya lebih rapat lagi, sampai menutup seluruh leher. Kemudian, ia kembali bersin dan meraih tisu yang sudah disediakan di atas bantal di sebelahnya.“Semalam kenapa?” Raga mengalihkan tatapannya dari televisi layar datar, untuk
Read more
Bab 95
“Ramaaa …” Raga berdecak sambil bertolak pinggang, saat melihat Lintang berlari menghampiri Rama. Istrinya itu baru saja keluar dari mobil, tetapi sanggup berlari dan meninggalkan Raga begitu saja. Pergi ke mana semua sakit yang dikeluhkan Lintang, selama mereka berada di Batu? Wajar rasanya bila Raga curiga, semua itu adalah akal-akalan Lintang saja. “Mama? Mama sudah pulang?” Walaupun bingung, tetapi Rama segera menyambut pelukan hangat Lintang dengan suka cita. “Iya.” Lintang masih memeluk Rama, yang tengah bermain mobil remote controlnya di depan garasi. “Mama kangen Rama, makanya pulang cepat.” Setelah menyadari sesuatu, Lintang segera mengurai pelukannya. “Kenapa Rama main sendirian di luar? Sus Eni mana? Terus, oma ke mana?” “Sus Eni lagi ngambilin aku susu,” kata Rama seraya menoleh ke dalam garasi. “Kalau oma, tadi ada orang datang. Jadi ada di dalam.” “Hem, hilang bersinnya?” sindir Raga berdiri di antara Lintang dan Rama. Sejenak, ia mengusap kepala Rama, tetapi bocah
Read more
Bab 96
Dua hari terlewat, Raga semakin uring-uringan. Bagaimana bila harus menunggu sampai tujuh hari? Raga pasti akan stres sendiri. Untuk itulah, sepulang kerja Raga berinisiatif mampir ke apotek. Karena tamu bulanan Lintang tidak kunjung datang, dan selera makan Lintang semakin menjadi, maka Raga memutuskan untuk membeli tespek. Seperti usul Idha kala itu. Sesampainya di rumah, Raga tidak langsung meminta Lintang untuk mencoba alat tes kehamilan yang sudah dibelinya. Ia menunggu hingga larut malam, saat Rama sudah tidak lagi menempel pada Lintang. “Kenapa … mondar mandir, Mas?” tanya Lintang saat baru memasuki kamar. Ia membawa sepiring kentang goreng, lalu mendudukkan dirinya di sofa. “Ada masalah di kantor?” “Sayang.” Raga berhenti, tetapi tetap berdiri di tempatnya. “Tamu bulananmu belum datang, kan?” Wajah ceria Lintang mendadak berubah datar. Ia tahu benar, apa yang Raga pikirkan saat ini. Namun, Lintang sudah tidak ingin banyak berharap, karena selalu berakhir kecewa setiap bula
Read more
Bab 97
“Hm! Sudah bisa senyum sekarang?” sindir Raga sambil membawa tubuh Lintang ke pelukan. “Sudah bisa ketawa, kan? Atau, masih mau nangis-nangis nggak jelas lagi? Mau marah-marah nggak jelas lagi?” Raga membuang napas lega. Akhirnya, satu hal yang sudah mereka tunggu-tunggu selama ini, terjadi juga. Semua tespek yang telah digunakan menunjukkan hasil positif, sampai-sampai istrinya tidak bisa berkata-kata sama sekali. Lintang hanya tertegun, memandang dua garis merah, dan tanda positif yang ada pada masing-masing tespek. “Firasatku benar, kan?” lanjut Raga sambil mengusap kepala sang istri. “Aku sudah bilang kamu itu aneh, nggak seperti biasanya.” “Tapi, itu beneran hamil, kan, Mas?” Masih dalam pelukan Raga, Lintang mendongak. Mempertemukan tatapan ragunya pada sang suami. “Aku nggak mimpi, kan?” “Mau aku gigit? Biar tahu, kalau ini bukan mimpi?” Lintang benar-benar memberikan sisi tangan terkepalnya di depan mulut Raga. “Coba gigit, tapi jangan sampai sakit.” Makin aneh saja kelak
Read more
Bab 98
“Hwaaah …” Separuh tubuh Rama sudah berada di atas meja makan, dengan kedua siku yang menumpu berat badannya. Melihat antusias, pada dua buah jenis cake berbeda, yang sudah berada di meja. “Aku mau!” “Cuma boleh cheesecake,” kata Lintang menjauhkan blackforest dari jangkauan Rama. “Ingat kata dokter, nggak boleh makan cokelat. Mama nggak mau Rama batuk-batuk, sesak napas, terus masuk rumah sakit lagi kayak kemaren.” Bibir Rama mengerucut. Namun, ia tidak bisa membantah, karena tidak ingin lagi masuk rumah sakit dalam waktu yang lama. “Nyicip dikiiit aja, boleh? Dikit, Ma, dikiiit.” Lintang menghela. “Sayang—“ “Boleh, dikit,” sela Raga langsung mencuil serpihan cokelat yang ada di atas cake tersebut, lalu memberikannya pada Rama. “Aak.” Meskipun hanya seujung kuku, tetapi Rama segera menyambarnya dengan cepat. Jika tidak, tangan sang papa pasti akan segera disingkirkan oleh Lintang. “Ramaaa.” Lintang sudah melotot pada Rama, tetapi tangannya mencubit pinggang Raga dengan kekesalan
Read more
Bab 99
“Mbak Lin!” Intan buru-buru menghampiri Lintang. Merampas lakban dari tangan tangan ibu hamil itu, lalu menggeleng cepat sambil melihat perut yang sudah sangat besar itu. Karena akhir minggu ini orderan toko membludak, maka Intan memutuskan datang ke rumah Lintang untuk membereskannya. Daripada menumpuk di awal minggu, Intan akan semakin kerepotan dengan jadwal kuliah yang padat. “Aku bisa dimarahin mas Raga, kalau Mbak Lintang ikut bantuin packing barang.” “Aku cuma—“ “Nggak cuma-cuma, Mbak,” putus Intan sambil merengut, dan melihat CCTV yang berada di sudut gudang. Tidak hanya di dalam, tetapi Raga juga memasang CCTV hampir di setiap tempat umum dan terbuka di kediamannya. “Cuma gara-gara Mbak Lintang ngangkat dua pak kertas HVS, aku kena semprot suaminya Mbak, yang lebay itu.” Lintang terkekeh lalu berjalan mengikuti Intan yang pergi meja kerjanya. Menurut Lintang, suaminya itu memang sedikit berlebihan. Lintang tidak lagi diperbolehkan ikut campur dalam urusan pergudangan. Ia ha
Read more
Bab 100
“Tenang.” Sekali lagi, Raga meminta Lintang untuk tenang. Pernah berada di situasi yang sama, membuat Raga sedikitnya bisa menguasai diri. “Ini cuma mulas biasa, karena HPL masih dua minggu lagi, oke, Sayang?”Lintang menggeleng. Masih tetap tidak merasa tenang, karena terlalu overthinking. Hari perkiraan lahir, juga tidak menjamin bayinya akan keluar di waktu yang tepat.“Teman kantorku, ada yang delapan bulan sudah lahir, ada juga yang lebih sembilan bulan.” Lintang menyanggah, sesuai dengan pengalaman beberapa orang yang ditemuinya.“Kamu itu kebanyakan makan.” Raga pun ikut menyanggah, karena yakin bayi mereka akan lahir sesuai perkiraan. “Dari bangun tidur, nggak berhenti ngunyah.”“Mulesnya beda, Pa.” Lintang menghela panjang setelah rasa sakit itu perlahan pergi. “Mulai hilang … pasti mau lahiran. Aku mau ke rumah sakit aja.”“Tahan sampai besok bisa?” Raga yakin Lintang hanya mulas bisa, bukan karena akan melahirkan. “Nanti malam ada gala dinner sama rapat internal partai, dan
Read more
PREV
1
...
89101112
...
21
DMCA.com Protection Status