Semua Bab DIKIRA PENJUAL NASI KUNING: Bab 31 - Bab 40
82 Bab
TAWARAN YANG SAMA
"Kenapa, Lan? Penasaran aku, sebenarnya apa sih yang kamu bicarakan sama Pak Anwar barusan." Ike mulai penasaran. Dia duduk di sebelahku, sementara Dikta masih berdiri di depan kami. "Kenapa?" "Ah nggak ada yang aneh kok. Cuma nanya kabar gitu-gitu doang lah. Ayo pulang. Kasihan Ryan sendirian nanti kalau kelamaan di sini," ajakku pada Ike yang masih bergeming. "Biar aku yang antar, Ke. Bukannya kamu mau ada acara lain?" Keduanya saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Bener, Lan. Mau ada acara dadakan, jadi kamu pulang sama Dikta ya?" "Tapi, Ke. Aku mau ikut kamu sajalah. Acara apa sih memangnya?" "Eh, pokoknya adalah nanti aku cerita di WhatsApp ya? Tenang saja. Sono pulang diantar Mas Dikta," ujar Ike dengan senyum lebarnya. "Ayo, Lana." Dikta menatapku lekat. "Riana gimana?" Perempuan itu masih berdiri di samping Ratna sembari menatapku tajam, seolah tak rela jika Dikta akan mengantarku pulang. "Dia datang sama Ratna kan? Pulangnya juga bisa sama dia. Kalau Ratna ma
Baca selengkapnya
PENGGANTI IBU
[Ke rumah sakit sekarang, Mbak Lana. Mas Ryan kecelakaan] Pesan dari Bu Maria muncul di layar benar-benar membuatku tak bisa berpikir jernih. Sepertinya Dikta juga tahu jika pesan itu bukanlah pesan biasa, lebih tepatnya bukan pesan yang membahagiakan. "Kenapa, Lan? Ada masalah?" Aku menoleh dengan mata berkaca. "Ryan kecelakaan, Dik. Sekarang di rumah sakit Isabella," lirihku dengan suara serak. Dikta tersentak mendengar ceritaku. "Kita ke sana sekarang ya? Kamu yang tenang," ujarnya lalu putar arah ke rumah sakit yang kumaksud. Sepanjang jalan, aku hanya membayangkan tentang Ryan. Hanya dia yang kumiliki saat ini. Tak ada sanak saudara yang lain lagi. Aku tak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi padanya. Detik ini aku benar-benar takut dan terus merapalkan doa untuk keselamatannya. "Lana, tenang. InsyaAllah, semua akan baik-baik saja." Suara Dikta kembali menggema, tapi rasanya nggak mampu meredam gelisah dalam dada. Dua puluh menit kemudian, aku dan dia sampai di rumah sak
Baca selengkapnya
Ancaman
[Gimana Ryan? Sudah sehat, Lan?] Pesan dari Dikta muncul saat aku baru selesai masak soto dan goreng ayam seperti permintaan Ryan. Tiga hari Ryan di rumah sakit, Dikta tak pernah absen menjenguknya. Tiap kali datang, dia membawa banyak camilan dan makanan berat untukku dan Ryan. Tak hanya itu saja, dia pun tak lupa membawakan vitamin agar aku tak ikut tumbang, katanya. Perhatian manis yang tak mungkin aku lupakan begitu saja. [Alhamdulillah sudah membaik, Dik. Mungkin lusa mulai berangkat sekolah lagi.] Aku membalas apa adanya. Meski aku dan Ryan hidup tanpa sanak saudara, tapi kami cukup bersyukur memiliki tetangga dan teman yang begitu perhatian. Bu Maria dan Bi Lastri sering datang menanyakan keadaanku dan Ryan, membawakan camilan dan buah-buahan. Ike pun tak kalah sibuk. Dia membantuku memberikan nasi kuning gratis tiga hari belakangan. Ada beberapa orang yang selalu menunggu nasi kuningku, tak tega jika harus libur beberapa hari karena menjaga Ryan di rumah sakit. Oleh kare
Baca selengkapnya
TAK MENYANGKA
POV : RIANA (1)Lana. Berliana Khairunnisa. Entah mengapa aku kembali bertemu dengan perempuan itu setelah lima tahun berlalu. Tak seperti dulu yang kucel, dekil dengan penampilan berantakan, kini dia terlihat sedikit berbeda. Penampilan Lana berubah cukup drastis. Pakaiannya rapi dan bersih meski kuyakin harganya masih pasaran. Wajah dan kulitnya pun lebih terawat, cukup bersih dan cerah. Bisa dibilang lebih manis dibandingkan sebelumnya saat aku dan dia sama-sama duduk di bangku abu-abu. Pertemuanku dengannya yang tak sengaja di pinggir jalan itu membuatku semakin penasaran bagaimana kehidupannya pasca perpisahan SMA lima tahun silam. Dari Bi Marni yang tak lain adalah nasabahku, akhirnya kutahu kehidupan Lana selama ini. "Bi Marni kenal Lana kan? Sejak kapan dia bekerja di rumah itu, Bi? Kebetulan saya teman sekolah Lana saat SMA. Tiap tahun Lana nggak pernah ikut reuni, saya pikir ke luar kota ternyata masih di Jakarta juga," tanyaku pada Bi Marni setelah pertemuan keduaku den
Baca selengkapnya
Rencana Busuk
POV : RIANA (2) Tak ingin terlihat semakin penasaran dengan kehidupan Lana, aku pun pamit pergi. Pekerjaanku untuk keliling nasabah satu ke nasabah yang lain masih cukup banyak dan aku harus menyelesaikan tugas ini sampai jam lima sore. Aku nggak mau sampai telat lagi dan lagi. Rasanya capek jika harus lembur tiap hari dengan upah tak seberapa ini. Namun, di mana lagi aku harus mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi jika aku hanya lulus menengah atas saja? Kuliah hanya sampai semester tiga dan terpaksa berhenti setelah papa terjerat hutang ratusan juta hingga membuatnya sakit bertahun-tahun lamanya. Papa sakit parah, mama yang terbiasa hidup bergelimang harta pun depresi hebat saat menerima kenyataan kebangkrutan papa dan Amir yang harus kuliah karena dia akan menjadi tukang punggung keluarga memaksaku bekerja serabutan. Sebenarnya aku malu jika teman-temanku tahu tentang kehidupanku saat ini. Beruntung Ratna tak membocorkan pada mereka. Dia sangat bisa dipercaya dan tak m
Baca selengkapnya
DUA LELAKI
"Jangan dekati anak saya atau kejadian serupa akan terulang kembali." Kata-kata yang diucapkan mamanya Dikta itu kembali terngiang di benak. Aku masih mencoba berpikir jernih, tapi berulang kali berusaha selalu gagal. Tetap saja menduga-duga dan mengaitkan kejadian satu dengan yang lainnya hingga akhirnya pertanyaan itu muncul kembali. Mungkinkah kecelakaan Ryan ada hubungannya dengan Tante Delima? Jika memang itu terjadi, betapa teganya dia sebagai seorang wanita dan ibu. Mengapa harus adikku yang dia jadikan korban. Dia tak ada sangkut pautnya dengan perasaanku pada Dikta. Jika memang Tante Delima masih tetap melarang hubungan ini, harusnya dia melarang anak lelakinya untuk mendekatiku. Bukan lantas mencelakakan adikku hanya agar aku menjauhi putra sulungnya itu. "Mbak, ada tamu." Ucapan Ryan dari ambang pintu kamar cukup mengagetkanku. Aku menoleh lalu mengangkat kedua alis."Mas Radit. Di anaknya wali kelas Mbak Lana dulu itu kan?" Ryan mencoba mengingat, aku pun mengiyakan. "
Baca selengkapnya
AJAKAN MENIKAH
"Kenapa, Mbak?" Tiba-tiba Ryan menoleh lalu menatapku cukup lekat. Aku tak tahu sejak kapan dia dan Mas Radit menghentikan obrolan. Fokus berbalas pesan dengan Ike membuatku tak sadar jika kopi mereka bahkan sudah habis tak bersisa. "Eh, nggak kok, Yan. Ini cuma baca pesan dari Ike," balasku sedikit gugup. "Ada masalah?" sambungnya cepat. "Nggak. Cuma cerita seperti biasanya." Aku tersenyum tipis lalu buru-buru mengalihkan obrolan. "Mau kopi lagi? Biar Mbak buatkan." "Nggak, Mbak. Tadi Mas Radit bilang mau ajak Mbak Lana makan di luar." Aku tercekat seketika mendengar ucapan Ryan. "Iya, Lan. Sudah lama nggak makan bakso di warung langganan." Mas Radit menimpali lalu tersenyum tipis ke arahku. "Sekalian bapak nitip beliin juga soalnya, Lan," sambung Mas Radit cepat. Tak ingin mengecewakan, akhirnya aku pun mengiyakan. Lagipula nyaris jam lima sore Dikta belum juga datang. Mungkin dia memang nggak jadi ke sini dan lupa ngasih kabar atau mamanya melarang berhubungan denganku mak
Baca selengkapnya
APA KAMU MENYUKAINYA?
"Dikta?!" Spontan aku memanggil namanya. Laki-laki itu masih berdiri di belakang Mas Radit sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Dikta?" Mas Radit balik bertanya lalu kubalas dengan anggukan kepala. Setelahnya, dia menoleh ke belakang. Dua lelaki saling tatap lalu Mas Radit mempersilakan Dikta untuk duduk di sampingnya. Keduanya tak saling kenal, hanya saja Dikta tahu jika Mas Radit adalah anak lelaki Pak Anwar, wali kelas kami saat SMA dulu. Setelah bersalaman, Mas Radit menawarinya untuk memesan makanan. Mas Radit tak terlihat canggung, biasa saja dan begitu ramah meski baru saja berkenalan dengan Dikta. "Soal tadi, aku tunggu jawaban kamu ya." Mas Radit menatapku dengan senyum tipisnya, sementara Dikta masih bergeming di tempat duduknya sembari mengalihkan pandangan. "Iya, Mas. Aku mau istikharah dulu," ujarku singkat lalu kembali mengaduk-aduk jus jambu di gelas."Iya. Nggak harus dijawab sekarang kok, Lan. Aku beri kamu waktu sampai siap dengan jawabanmu. Semoga
Baca selengkapnya
NYARIS CELAKA
Kata-kata Dikta kembali terngiang di benak hingga membuatku tersenyum lagi dan lagi. Setelah membeli beberapa snack dan minuman dingin, Dikta membayar ke kasir. "Masih marah?" tanyanya saat aku dan dia keluar dari mini market. "Duduk dulu, mau adzan sepertinya," pintanya sembari menarik kursi di depan mini market untukku. "Makasih," balasku singkat. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kupukul lengannya cepat karena selalu dan terus membuat degub jantungku berlompatan tak karuan. Lagi-lagi Dikta terkekeh geli melihat tingkahku yang mungkin cukup lucu baginya. "Selalu lucu dan menggemaskan seperti dulu." "Selalu menyebalkan, iya," balasku lagi. Dikta manggut-manggut lalu membukakan minuman dingin untukku. "Makasih," ujarku lagi. "Kembali kasih, sayang dan cinta." Kata-kata itu terulang kembali dari bibirnya. Spontan membuatku tertawa juga pada akhirnya. "Gitu dong ketawa. Jangan cemberut terus. Kalau ketawa kadar cantiknya naik delapan puluh persen." Aku mencebik. "Bisa naik s
Baca selengkapnya
SPESIAL
Bakda shalat maghrib, aku dan Dikta masih duduk santai di teras masjid. Banyak orang yang beribadah di masjid ini. Di depan masjid pun ada beberapa penjual makanan yang menjajakan dagangannya. "Masih sakit?" tanyaku saat melihat Dikta melipat celana bagian bawahnya. "Nggak. Lebih sakit jika kamu yang terluka," balasnya santai lalu mendongak ke arahku yang buru-buru mengalihkan pandangan. Aku nggak mau kedua mata kami bertemu. "Isshhh, ditanya beneran malah bercanda.""Siapa yang bercanda sih, Lan? Serius ini." Aku kembali mencebik, meski dalam hati berbunga-bunga. "Rasa itu masih sama seperti dulu, Lan. Nggak ada yang berubah. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu setelah perpisahan kita lima tahun lalu, tapi entah mengapa aku merasa yakin dengan hatiku sendiri. Aku percaya pilihanku tak salah jika kamu memang perempuan yang terbaik." Dikta menghela napas panjang lalu kembali menoleh ke arahku. Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali menundukkan kepala. "Apa karena ucapan Mas Radi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status