“Memang kita mau berhubungan dimana? Nggak mungkin di kamar ini karena aku tidak ingin mengganggu tidur anak-anak. Nggak baik juga kalau mereka mendengar suara kita walau sedang tidur. Kalau dua kamar lain sudah di pakai oleh Ibu dan kedua adikmu,” tantangku menunggu jawabannya. Aku masih penasaran apa tujuan Mas Aksa bersikap baik padaku malam ini.“Di hotel saja. Aku dapat bonus yang bisa kita gunakan untuk menginap di hotel semalam. Semuanya akan aman tanpa ada yang terganggu. Anak-anak bisa di tinggal di rumah karena ada Ibu, Rosi dan Syntia,” jawab Mas Aksa cepat. Seolah dia sudah lebih dulu mengetahui pertanyaanku sebelum aku bertanya.“Baguslah, tetapi maaf Mas. Bagaimana kalau minggu depan kita pergi ke hotelnya? Baru saja siang ini aku kedatangan tamu bulanan.”Wajah Mas Aksa seketika memberengut kesal. Dia melepaskan pegangannya di tanganku. Pandangannya justru menoleh pada kalender di dinding yang memang sering aku coret sebagai pengingat. Terutama tentang tamu bulanan. Men
“Hmmm,” gumam Mas Aksa yang ternyata hanya mengigau. Aku menghela nafas lega. Segera meletakan H lalu memejamkan mata. Besok saja aku bicara pada Hanin.Keesokan harinya, aktivitasku berjalan seperti biasa. Hari ini aku juga sudah memberi tahu Tika jika tidak akan bisa ke warung. Membuatnya harus mengambil shift sampai malam. Anak-anak tetap ke sekolah seperti biasa. Aku mengantar mereka tepat pada waktunya. Begitu pulang ke rumah, sudah ada mobil Hanin yang terparkir di halaman.Aku segera turun lalu masuk ke dalam. Melihat Hanin yang menunggu di ruang tamu. Wajahnya terlihat senang saat melihatku masuk. Aneh sekali.“Kok kamu nunggu disini Nin? Biasanya juga nunggu aku di ruang tengah?” tanyaku heran.Aku hendak berjalan saat Hanin sudah mencekal tangan ini. Dia memaksa agar aku duduk di sampingnya. Ekspresi Hanin sangat kesal sekaligus malu. Terbukti dari wajahnya yang berubah jadi merah.“Kenapa sih Nin?” tanyaku heran. Bukannya menjawab pertanyaanku, kepala Hanin justru mendekat
Cklek“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sek
“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka aku tidak akan segan untuk melaporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku.Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di hadapanku. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini.“Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian dp yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharus
Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di
Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert
Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika
Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s