Share

Terpuruk

Tanpa pikir panjang, Almeera menggendong tubuh Rifki menuju ke taksi. 

Dengan mata berkaca-kaca, ia meminta sopir taksi agar mengantarnya ke rumah sakit terdekat. 

Badannya begitu panas, hingga Rifki pun dilarikan ke ruang IGD supaya bisa dilakukan penanganan secara intensif.

“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang memeriksa Rifki.

“Iya, Dok, saya kakaknya. Bagaimana keadaan adik saya, Rifki?” tanya Almeera dengan raut wajah penuh kecemasan.

“Pasien menderita pneumonia akut dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kami sudah memasangkan ventilator untuk membantu pernapasannya. Nanti pasien akan ditangani secara langsung oleh dokter spesialis paru-paru. Sekarang, Anda bisa mengurus administrasinya dulu,” ujar sang dokter.

Pneumonia?

Bagaimana bisa?

Namun, Almeera menahan pertanyaannya itu dan langsung menemui petugas bagian administrasi. 

Saat bagiannya tiba, seorang wanita dengan blazer hitam memberikan penjelasan mengenai estimasi biaya perawatan. 

Dimulai dari tarif kamar per hari, biaya dokter, tindakan, hingga obat-obatan. 

Jika dihitung, semuanya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Rasanya, dunia runtuh di mata Almeera. 

Di tabungannya hanya ada uang tiga juta rupiah. 

Jika Rifki harus dirawat, lalu dengan apa dia akan membayar seluruh biayanya?

‘Apa aku harus meminjam uang dari Bu Sri?’ pikir Almeera putus asa.

Dengan langkah gontai, Almeera berjalan menyusuri koridor rumah sakit. 

Pikiran gadis itu sangat kacau, sehingga ia tidak menyadari ada sekelompok pria yang tergesa-gesa menuju ke arahnya. 

Sementara itu, pria yang berjalan paling depan sedang berbicara melalui sambungan telepon, sehingga ia juga tidak memperhatikan keberadaan Almeera.

Bugh!

Tabrakan antara Almeera dan pria berjas abu-abu itu tak terelakan.

Keduanya hilang keseimbangan dan terjatuh.

Bahkan, ponsel yang ada di tangan pria tersebut melayang ke udara, lalu terpental di lantai. 

Namun, itu bukan yang paling menyeramkan dari kejadian ini.

Almeera kini menimpa pria berjas abu itu!

“Apa kamu tidak punya mata?” 

Suara bariton itu membuat Almeera tersadar bahwa pria yang ditimpanya itu begitu tampan.

Sepasang alis tebal yang tercetak rapi, hidung yang mancung, proporsional dengan garis wajahnya yang tegas. 

Dan … Almeera yakin bila pria ini bukanlah orang biasa. 

Sialnya, ia tampaknya sudah membuat masalah besar dengan menghancurkan ponsel pria itu. 

Membayar biaya rumah sakit saja dia tidak sanggup, apalagi bila harus mengganti rugi ponsel milik orang kaya?

“M-maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Almeera tergagap.

Dibetulkannya letak kacamata yang ia pakai dan menyingkir dari tubuh tegap pria itu. 

Namun, pria tampan itu tidak menjawab.

Dia bangkit berdiri dan merapikan jasnya membuat Almeera makin tegang.

“Tuan Kaisar, Anda tidak apa-apa?” tanya salah seorang pria yang memakai kacamata hitam. 

Sepertinya, dia adalah anak buah dari pria yang Almeera tabrak.

Namun, pria yang bernama Kaisar itu hanya mengibaskan lengan pada sang bawahan.

Dipungutnya kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. 

Melihat itu, Almeera semakin merinding.

Terlebih, kala sepasang netra elang Kaisar tiba-tiba menatap tajam Almeera. “Sengaja atau tidak, kau harus mengganti rugi kerusakan ponselku ini, termasuk kontak penting di dalamnya,” ucapnya, datar.

“B-berapa harga ponsel itu, Tuan?” cicit Almeera dengan kepala tertunduk. 

Alih-alih menjawab, Kaisar justru berpaling kepada salah satu anak buahnya. “Willy, urus gadis bermata empat ini. Aku harus mencari Opa.”

“Baik, Tuan,” jawab bawahannya, cepat.

Almeera semakin dirundung ketakutan. 

Terlebih, gelagat Willy yang seperti tak mengenal belas kasihan, 

Mungkin, dia harus melarikan diri selagi ada kesempatan? 

Jadi, begitu Kaisar melangkahkan kaki bersama rombongannya, Almeera segera kabur dari tempat itu. 

“Hey, mau kabur ke mana kau!” teriak Willy.

Bukannya berhenti, Almeera justru berlari semakin kencang untuk meninggalkan koridor rumah sakit. 

Tak dapat dipungkiri bahwa kelakuannya ini sangat tidak bertanggung jawab. 

Namun, mau bagaimana lagi?

Jika ia sampai dilemparkan ke dalam penjara oleh Kaisar, lalu siapa yang akan merawat sang adik?

Sayangnya, Almeera kesulitan kabur.

Dengan napas tersengal-sengal, dia memutuskan untuk bersembunyi dulu di balik mobil yang terparkir di rumah sakit. 

Ditengoknya sekeliling, memastikan apakah pria bernama Willy tadi mengejarnya. 

Setelah yakin pria itu tidak membuntutinya, Almeera segera menghampiri salah satu taksi yang baru saja menurunkan penumpang.

“Pak, tolong antarkan saya ke alamat ini,” kata Almeera menunjukkan alamat yang diberikan sang nenek.

“Baik, Mbak.”

Dalam perjalanan, Almeera terpikir lagi untuk menelepon pemilik rumah makan tempatnya bekerja dan meminta bantuan dari mantan bosnya itu. 

Namun, Almeera mengurungkan niat tersebut. 

Mustahil, Bu Sri mau meminjamkan uang kepadanya, sementara dia sudah tidak bekerja padanya, kan?

***

“Benar alamatnya di sini, Mbak?” tanya sang sopir taksi begitu mobil berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam. 

Rumah bertingkat dua itu terlihat cukup bagus dan terawat. 

Hanya saja, Almeera tidak yakin apakah rumah tersebut adalah tempat tujuan yang dia cari. 

“Saya juga tidak tahu, Pak. Saya belum pernah ke sini,” ujar Almeera mengakui dengan jujur.

“Jalan Hayam Wuruk, Perumahan Simfoni Blok C2. Memang di sini tempatnya, Mbak,” ucap sopir taksi itu.

“Baik, Pak, saya akan turun. Terima kasih sudah mengantarkan saya.”

Sedikit ragu-ragu, Almeera membuka pintu dan turun dari taksi. 

Bertamu ke rumah seseorang yang tak dikenal, merupakan pengalaman menegangkan bagi Almeera. 

Berulang kali, ia menarik dan menghembuskan napas sebelum akhirnya menekan bel pintu. 

Tet!

Tak lama berselang, pagar besi berwarna hitam itu terbuka dari luar. 

Memunculkan seorang perempuan paruh baya dengan wajah galak. 

Perempuan itu menatap Almeera dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. 

“Selamat siang, Bu,” sapa Almeera dengan ramah.

“Mbak ini siapa, ya?” balas perempuan itu dengan tatapan penuh curiga.

“Saya Almeera, cucunya Nenek Gayatri. Saya datang kemari untuk bertemu dengan Tuan Marco Biantara,” jelas Almeera apa adanya.

Dahi perempuan itu langsung berkerut saat mendengar ucapan Almeera. “Mbak salah alamat. Ini rumahnya Rasyid dan Bu Rahma. Sebaiknya, Mbak pergi sekarang, kami tidak menerima sumbangan.”

Brak!

Tanpa berbasa-basi lagi, perempuan itu menutup pagar dan menggemboknya dari dalam–meninggalkan Almeera yang mematung tak percaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status