Share

Istri Kedua CEO Ternyata Cantik Jelita
Istri Kedua CEO Ternyata Cantik Jelita
Penulis: Risca Amelia

Berita Mengejutkan

“Mbak Meera, ayo kita cepat pulang ke rumah sekarang! Rumah kita tadi didatangi oleh Pak Harsono dan mereka memukuli Bapak,” ucap adiknya, tampak panik.

DEG!

Pak Harsono?

Almeera yang sedang melayani pelanggan rumah makan tempatnya bekerja, sontak berhenti. 

Firasat buruk langsung memenuhi hati Almeera mendengar nama rentenir paling kejam di kampungnya itu.

Apakah ayah tirinya kembali membuat ulah?

Memang sejak Ibunya meninggal, pria paruh baya itu semakin tak bisa diandalkan. 

Kerjanya hanya berjudi dan mabuk-mabukan–membuat keluarganya semakin terjerat dalam tumpukan utang.

“Baik, Mbak akan pulang. Tunggu di sini dulu, Rifki, Mbak akan berpamitan kepada Bu Sri,” ucapnya, lalu segera menemui sang pemilik rumah makan. 

Untungnya, bos Almeera mengizinkan walau gajinya harus dipotong dua ratus ribu.

Tapi, Almeera tak peduli.

Bersama sang adik, dia pun  bergegas keluar dari rumah makan itu.

Secepat mungkin, keduanya berlari.

Namun ketika mereka tiba di rumah, kaki Almeera melemas.

Kondisi ruang tamu mereka sudah sangat berantakan! 

Meja bergeser dari tempatnya, kursi-kursi terguling, dan gelas pecah berserakan di lantai.

Terlebih, ada bercak darah entah milik siapa, di sana….

“Astaga!” pekiknya.

Air mata menggenang di pipi. Namun, dia segera mengusap itu kala teringat sang nenek.

“Nenek–”

Seolah tahu yang dimaksud sang kakak, Rifki langsung menariknya. “Tadi, Nenek di kamar, Kak.”

Almeera mengangguk.

Keduanya buru-buru menuju ke kamar. 

Tapi begitu membuka pintu, jantung Almeera berdegup kencang kala melihat neneknya tampak menyiapkan sebuah tas besar. 

Isi lemari pakaian Almeera dan Rifki juga tampak kosong melompong. 

Tak tersisa selembar pakaian pun di sana.

“Nek? Ada apa ini? Kenapa semua baju dimasukkan ke tas?” tanya Almeera bingung.

“Meera, pergilah sekarang dari rumah bersama Rifki. Jangan pernah kembali lagi,” ujar Gayatri dengan suara parau. 

Ia menatap lamat wajah sang cucu kesayangan selama beberapa saat. 

Kemudian, Gayatri menyerahkan tas berwarna hitam itu kepada Almeera dengan tangan gemetar.

“Lalu, bagaimana dengan Nenek?” tanya Almeera dengan wajah memucat. 

Ia bingung mengapa sang nenek tiba-tiba mengusirnya tanpa alasan yang jelas.

“Hidupmu akan berada dalam bahaya jika kamu terus berada di rumah ini, Meera. Tadi, Bapak tirimu itu sudah berjanji kepada Harsono untuk menyerahkanmu sebagai jaminan utang.”

Lidah Almeera mendadak kelu dan tenggorokannya terasa kering kerontang. 

Jikalau ia meninggalkan rumah, lalu ke mana ia harus pergi? 

Selain itu, ia tidak tega meninggalkan sang nenek seorang diri.

“Kita bertiga akan pergi bersama, Nek,” ucap Almeera memegang tangan Gayatri yang keriput termakan usia.

Gayatri menggeleng dengan air mata yang berlinang di kedua pipinya. “Nenek sudah tidak kuat menempuh perjalanan jauh. Lagi pula, Nenek tidak mau meninggalkan rumah peninggalan kakekmu, Meera. Bawa saja adikmu dan jaga dia baik-baik.”

“Tapi, Meera tidak mungkin membiarkan Nenek menderita di sini,” tolak Almeera bersikukuh.

“Percayalah, Kasman dan Harsono tidak akan berani mengusik wanita tua.”

Gayatri tiba-tiba mengambil secarik kertas yang sudah menguning, sebuah kacamata berbingkai tebal miliknya, dan bulatan hitam yang Almeera tak tahu apa.

“Pergilah ke Jakarta, dan carilah pria bernama Marco Biantara yang ada di alamat ini. Untuk sementara waktu, ubah penampilanmu dengan memakai kacamata dan tompel palsu ini supaya anak buah Harsono tidak bisa mengenalimu.”

Mata Almeera sontak membulat. “Tidak, Nek, aku tidak mau,” ucapnya tak setuju, “kita pasti punya jalan lain untuk–”

“Cepat, Meera! Ini satu-satunya cara.”

Almeera hendak membalas ucapan sang nenek, tetapi suara langkah kaki terdengar memasuki rumah 

Gayatri seketika menatapnya tajam. “Kasman sudah datang. Pergilah bersama Rifki lewat pintu belakang,” tegasnya, lagi.

Wanita tua itu bahkan mendorong gadis itu agar melarikan diri lewat pintu belakang. 

Merasakan tekanan dari sang nenek, Almeera menarik napas panjang. 

Sebenarnya, dia dapat merasakan kepanikan sang nenek.

Tapi, sepertinya memang tak ada pilihan lain.

“Tolong jaga diri nenek. Kami akan kembali nanti,” ucap Almeera pada akhirnya.

Menahan tangis, gadis itu menggandeng tangan sang adik.

Keduanya pun berlari keluar dari rumah.

Secepat mungkin mencari bus menuju kota.

Hanya saja, Almeera lupa satu hal.

Ini pertama kalinya dia pergi keluar dari kampungnya sendirian tanpa sang nenek atau ibunya.

Jadi, semua tampak membingungkan untuk gadis yang kini sudah memakai kacamata tebal dan memakai tompel palsu di pipinya itu kala tiba di terminal.

Dirapikannya ikatan rambut sejenak, lalu turun dari bus bersama sang adik.

Melalui kacamata tebal yang membingkai wajahnya, Almeera lantas mengedarkan pandang.

Terminal tampak sangat ramai dan sesak.

“Dek, kamu duduk dulu, ya,” ucap gadis itu pada Rifki agar tak kelelahan.

Bocah kecil itu hanya diam dan mengangguk.

Tanpa menunggu waktu lama, gadis itu pun berusaha untuk mencari taksi atau ojek yang ada di sekitar sana dengan harga masuk akal. 

Untungnya, ada sebuah taksi yang Almeera rasa tepat.

Setelah memintanya menunggu, gadis itu kembali ke tempat Rifki duduk untuk mengajaknya.

Sayangnya, mata Almeera melebar kala menemukan sang adik kini sudah terkulai lemas di kursi kala Almeera menghampirinya.

“Rifki!” teriak gadis itu kalut. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status