"Ya sudah Papa akan ke sana sekarang, kita bawa saja ke rumahnya."Telpon terputus, Om Feri menatapku sendu, wajahnya sangat mendung laksana awan hitam yang hendak menurunkan hujan lebat."Mertuamu meninggal, Adnan, dia kena serangan jantung dan dokter ga bisa menyelamatkannya," ucapnya putus asa.Mendengar berita itu membuatku lega, kutahu perasaan ini jahat, tapi bagaimana lagi aku memang tak rela jika Melta yang meninggal."Ayo kita ke rumah sakit, aku akan bantu memakamkan jenazah Mama."Ia mengangguk dan kami segera pergi dari rumah.*Di rumah sakit yang sama Melta juga di rawat, saat Om Feri mengurus jenazah Mama, aku menyempatkan diri untuk melihat Melta, di depan ruangannya ada beberapa orang polisi yang berjaga.Kami sempat berbincang sebentar, lalu pria yang memakai seragam itu mengizinkan aku untuk masuk. Namun, kutolak, melihatnya dari balik kaca saja itu sudah cukup.Kupandangi Melta yang terbaring lemah di atas ranjang berukuran tak jauh dari ukuran tubuhnya, perban put
Aku menghela napas, teringat ibu bagaimana reaksinya jika ia mengetahui hal ini, aku takut dia akan bernasib sama seperti mama mertua."Kita akan temui Gian besok di penjara untuk sementara kamu nginap dulu di sini ya, di belakang ada kamar tempat ART saya kalau menginap, kamu bisa tidur di situ.""Ga perlu, Kak, biar saya pulang ke kosan aja, ga enak sama istri kakak," jawab gadis itu sambil menyeka tetesan air matanya."Saya sudah bercerai, jadi kamu ga usah khawatir, nginap saja di sini, kalau mau pulang lebih baik besok saja."Ia terlihat diam menimbang memikirkan tawaranku, permasalahan yang tiada henti membuat fikiran ini kacau, tak mungkin bagiku untuk mengantarnya pulang, terlebih cuaca sedang hujan lebat."Baiklah kalau Kakak mengizinkan saya akan menginap di sini semalam."Tiba-tiba ia mendadak mual layaknya wanita lain yang sedang mengalami masa ngidam, masa itu pernah Melta lalui dan aku selalu ada di sisinya, memijat tengkuknya kadang juga menyuapi makan dengan bubur ayam
Napasku tertahan, kening mengerenyit dan mata yang menyipit memandang wanita yang sedang mengigil kedinginan itu, kedua jarinya bersilang di dada, sesekali tangannya menyeka tetesan air hujan yang menitik ke wajahnya.Kupandangi wanita yang sedang berdiri dengan keadaan bergetar itu, dari penampilannya ia seperti bukan gadis yang berasal dari ibu kota.Tak ada yang mewah dari cara berpakaiannya, tak ada perhiasan yang menempel di tubuhnya seperti kebanyakan wanita yang tinggal di ibu kota.Rambutnya hitam panjang, polos tanpa pewarna ataupun potongan rambut model masa kini, kuku-kukunya pun sama terlihat polos tanpa pewarna, seperti yang selalu dikenakan Melta dan anak-anak gadis Om Feri."Apa kamu serius?" tanyaku menelisik."Aku serius, Kak, i-ini."Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari saku rok-nya, lalu memberikan padaku, sebuah benda kecil berukuran panjang, di tengah-tengahnya membentang dua garis merah."Itu tespek milik saya, Kak, saya mohon izinkan saya untuk bertemu Gian, sud
Mata Sandrina menatapku sendu, kutahu tatapannya itu penuh harapan, ia membutuhkan kasih sayangku, bagaimanapun juga aku telah menjadi seorang papa di hatinya selama ini, bukan Gian atau siapapun, di hatinya aku adalah sosok papa, yang akan menaunginya hingga kelak ia berpindah tangan pada pangeran impiannya.Kuukir senyum sehangat mungkin, meregangkan tangan sebagai tanda jika hati ini siap menerimanya, siap melindunginya dari badai yang menghadang.Ya, aku yang akan melindunginya dari panas dan hujan, aku pula yang akan mendidik agamanya dengan ahlak dan agama, untuk bekal kehidupannya ketika ia dewasa dan menjadi seorang istri.Dia adalah anakku tak peduli dia lahir dari benih siapa, akulah papanya dan akan tetap seperti itu selamanya, hanya saja nanti aku tak bisa menjadi wali nikahnya."Sandrina mau tinggal sama Papa?" tanyaku.Ia beringsut mendekat, gegas kuraih tubuh mungilnya lalu membawa ke dalam dekapanku."Ina mau tinggal sama Papa sama Mama," jawabnya polos.Ina adalah na
Tinggallah kami bertiga yang beradu mata, Gian mendengkus tak suka dengan kedatangan kami yang tiba-tiba."Gian, sebenarnya apa yang kamu lakukan sehingga harus berada di sini?" tanya Haura memulai suara."Bukan urusanmu!" Bentak Gian sinis."Aku mau kamu nikahin aku, Gian, ini anakmu! Jangan coba-coba menghindar dari tanggung jawab!" tegas Haura, kini wajahnya berubah mendung."Hah, anakku? percaya diri banget sih, wanita kek kamu ini sering tidur sama lelaki lain, enak aja nyuruh tanggung jawab," celetuk Gian dengan pongahnya.Air mata Haura luruh membasahi pipi. Wanita manapun tentu akan sakit hati jika direndahkann seperti itu. Namun, sedetik kemudian rona wajahnya berubah lagi, ia menyembunyikan kesedihan secepatnya."Kamu juga ngerasain 'kan kalau aku ini masih per*w*n, jangan nuduh sembarangan!" Sebelah tangan Haura menggebrak meja."Halaaah, ga usah pede aku ngerasa biasa aja, sudahlah cari aja lelaki lain yang mau tanggung jawab, aku berada di tempat terk*tuk ini mana mungkin
Kuajak Haura untuk segera meninggalkan tempat itu, terlalu lama berada di sana hanya sia-sia dan percuma, Gian tersenyum sinis mendapati kami yang pergi karena menyerah meyakinkannya.Padahal, kepergian kami bukan karena menyerah melainkan akan membuatnya tenggelam dalam lautan penyesalan suatu saat nanti, dan saat itu pula ia tak bisa berenang ketepian untuk menggapai kebahagiaan."Kamu akan menyesal, Gian! Ingat bukan hanya rumah tanggaku yang hancur, tapi juga masa depan Haura yang kamu hancurkan, lihat saja sebentar lagi kamu sendiri yang akan hancur." Pesan terakhirku untuknya.Ia terlihat cuek bahkan terkesan tak takut dengan ancamanku, biarlah ia merasakan sendiri kepedihan itu.Haura masih meneteskan air mata walau kami sudah berada di dalam mobil, entahlah aku pun bingung bagaimana cara memberikan solusi padanya."Sudahlah, Haura, jangan lemah."Hanya itu yang kukatakan, sejatinya aku pun tak pernah sekuat baja jika masalah sebesar gunung menerpa, hanya dalam bibir aku kuat,
b"Biarkan dia menikmati masa tahanannya sebentar, Bu, rasanya ga adil bagiku kalau dia harus bebas begitu saja setelah apa yang ia hancurkan dalam hati ini."Ibu menunduk, entah racun apa yang merasuki otaknya sehingga setiap kali ia pulang dari rumah sakit selalu itu yang dikatakan."Pokoknya mulai besok Ibu ga boleh jagain dia lagi, Melta sudah kuceraikan, dia bukan mantu Ibu lagi!"Tak ingin mendengar bantahan darinya, aku segera pergi menuju kantor, berdebat dengan ibu sebenarnya hal yang melelehkan, ia tak mudah mengalah dan sedikit keras saat mengambil keputusan."Pak Adnan, sekarang ada jadwal meeting," ucap sekretarisku, Susi."Ya," jawabku sambil mendelik malas, ingin sekali aku menggantikan dirinya dengan orang lain, teringat perbuatannya tempo hari yang berada di pihak Melta, bahkan kutahu dari para staf karyawan jika ia selalu menggunjing kehancuran rumah tanggaku."Ini, berkas-berkasnya, Pak." Ia menyerahkan beberapa buah map dengan senyum mengembang seperti biasa, aku m
Semua orang nampak serius mengamati layar laptop dan kertas-kertas di hadapannya, tanpa kata aku lekas memasukkan kalung liontin jadul itu ke dalam tas kerja milikku, tak berselang lama pria blasteran Amerika itu kembali, dan kami langsung memulai acara meeting pagi ini.*Pulang dari kantor aku segera meluncur ke rumah mama mertua yang kini hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang tak lain adalah ART dan tukang kebun rumah itu."Adnan!" terdengar teriakkan Haris memanggil dari belakang."Ngopi dulu yuk," ujarnya saat kami sudah berjalan bersisian di parkiran.Dua bulan terakhir, nongkrong di sebuah cafe dan menikmati secangkir sampai dua Cangkir kopi merupakan rutinitas baru bagiku dan Haris.Sahabatku itu selalu menjadi pelipur lara kala diri ini kesepian dan tenggelam pada lautan derita masa lalu, terkadang ia juga membawaku ke sebuah pengajian di kala libur bekerja.Namun, pria yang berpostur tubuh tak jauh berbeda denganku itu selalu membuat hati iri, bagaimana tak merasa iri