All Chapters of My Obsessive Ex: Chapter 91 - Chapter 100
176 Chapters
Bab 91
Berhati-hatilah terhadap orang yang bermuka dua karena kita tidak pernah tahu rencana busuk apa yang tersembunyi di balik topeng sikap baik mereka. *** “Aku tidak tahu apa yang dibisikkan Tuan Freud pada Anda, Mr. Song,” sahut Qeiza. “Tapi, aku berani bersumpah. Bukan aku yang menyebabkan semua kekacauan ini.” “Kau punya bukti atau saksi?” selidik Chin Hwa. “Ini! Aku punya bukti yang valid,” tukas Aleta. Tak memberi kesempatan kepada Qeiza untuk menanggapi pertanyaan Chin Hwa. Dia melangkah maju. Menyodorkan ponselnya kepada Chin Hwa. Lirikan menghinanya pada Qeiza seakan berkata, “Tamat riwayatmu! Kau tidak akan pernah menang melawanku.” Saat Chin Hwa mengamati foto yang ada di galeri Aleta, karyawan lain juga asyik memandangi ponsel mereka masing-masing. Ternyata Aleta telah mengirim gambar yang dimilikinya ke grup obrolan perusahaan. Berbagai macam komentar negatif dan hinaan saling bersambut dan semakin memojokkan Qeiza. Qeiza tak bisa berkutik. Salah satu dari gambar-gambar
Read more
Bab 92
Rahang Chin Hwa mengeras. Dia tidak percaya Aleta masih bersikeras membela diri dan menuduh Qeiza setelah dia menunjukkan bukti nyata tentang perbuatan buruknya. Chin Hwa menghubungi seseorang melalui ponselnya. “Bawa mereka kemari!” perintahnya. Muka Aleta bertambah pucat. Dia tak bisa lagi menyembunyikan kegelisahannya. Chin Hwa benar-benar telah menggali permasalahan di ruang penyimpanan itu hingga ke akar-akarnya. Dua lelaki jatuh tersungkur tepat di depan kaki Chin Hwa akibat dorongan kuat yang diberikan oleh dua orang petugas keamanan. “A–ampun, Tuan!” ratap mereka serentak. “Ka–kami hanya menjalankan perintah.” “Bohong!” pekik Aleta. “Aku tidak pernah memerintahkan mereka!” Chin Hwa meneleng dengan kening mengisut. Matanya membiaskan kecurigaan pada Aleta. Dua lelaki itu belum menyebutkan siapa yang menyuruh mereka untuk memfitnah Qeiza, tetapi Aleta sudah menyangkalnya. Sadar telah melakukan kesalahan yang dapat membuka kedoknya sendiri, Aleta membekap mulutnya dengan k
Read more
Bab 93
Selalu ada kerikil di setiap perjalanan yang akan ditempuh. Kau hanya perlu melewatinya tanpa harus merasa terguncang. *** Berjalan meninggalkan ruang penyimpanan, Qeiza sesekali melirik Chin Hwa. Dia terharu menyadari lelaki itu datang di waktu yang sangat tepat dan menjadi malaikat pelindungnya. “Seharusnya kau kan masih di ruang rapat, kenapa tiba-tiba bisa muncul di gudang?” Pertanyaan tersebut meluncur juga dari mulut Qeiza. Dia memang tidak pernah bisa menahan rasa penasarannya. “Ah, itu … tadi aku meneleponmu,” sahut Chin Hwa. “Karena kau tak kunjung mengangkat panggilanku, jadi aku mencarimu.” “Benarkah?” Selekasnya Qeiza mengecek ponselnya. Benar saja. Ternyata Chin Hwa telah menghubunginya berkali-kali. “Maaf,” ujar Qeiza. “Kau butuh bantuanku?” “Sudah tidak lagi,” balas Chin Hwa. “Rapatnya sudah berakhir.” Wajah Qeiza berubah muram. Dia jadi tak mendengar dering ponselnya gara-gara terlalu fokus pada keributan yang terjadi di gudang itu. Chin Hwa mengusap puncak
Read more
Bab 94
“Apa tidak terlalu kejam membiarkan Nona Aleta membersihkan ruangan sebesar itu?” tanya Qeiza. Dia merasa kasihan membayangkan wanita seperti Aleta harus memeras keringat untuk membersihkan kekacauan tersebut. “Dia harus belajar bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri,” jelas Chin Hwa. “Semoga saja dia tidak jatuh sakit,” harap Qeiza. “Kenapa kau masih peduli padanya?” Chin Hwa terlihat tidak senang dengan reaksi Qeiza. Jelas-jelas Aleta berencana untuk mencelakainya, tetapi dia masih saja menunjukkan simpati terhadap penderitaan wanita ular itu. “Dia pantas mendapatkannya,” imbuh Chin Hwa. “Khawatirkan saja dirimu sendiri!” Qeiza terkesima mendengar nada bicara Chin Hwa yang biasanya hangat berubah dingin dan tajam. Dia baru tahu Chin Hwa juga punya sisi lain yang sangat jarang ditunjukkannya. Selama ini dia mengenal Chin Hwa sebagai sosok yang ramah, hangat, dan selalu berkata dengan nada lembut. Tak disangka ternyata dia bisa marah juga. Memasuki elevator yang akan memb
Read more
Bab 95
Rasa cemburu tak ubahnya seperti panasnya bara api yang menghanguskan telapak kaki. Kau tak bisa berjalan dengan benar sampai semua lukamu sembuh. *** Alina bergegas duduk di tepi ranjang begitu mendengar langkah kaki menderap ke kamarnya. wajahnya merona bahagia. Dia merapikan rambutnya dengan jari. Tak ingin terlihat berantakan di mata tamu istimewanya. Roman muka Alina berubah suram ketika Ansel datang seorang diri. “Mana Qeiza?” tanyanya. “Kau berhasil menemuinya, kan?” Ansel duduk di samping kiri Alina. Dia memaksakan bibirnya melengkung naik. “Qeiza masih sangat sibuk, Ma,” sahutnya. “Dia sedang menemani bosnya.” Hati Ansel terasa sakit membayangkan Qeiza tersenyum ceria bersama Chin Hwa. Ingin rasanya dia bisa melenyapkan lelaki itu dari sisi Qeiza. Sayangnya, dia tak mampu menemukan mereka. Terpaksa dia berbohong kepada Alina. “Dia tidak bekerja di perusahaanmu?” tanya Alina. Ansel menggeleng. “Enggak, Ma,” sahutnya. “Kenapa? Akan lebih baik kalau dia bekerja di kantor
Read more
Bab 96
Mata Adnan dipenuhi bintang ketika menatap makanan di atas meja. Dia tidak sempat makan siang karena terlalu sibuk menyelidiki kasus yang menimpanya kemarin. Menyadari bahwa dia masih berutang permintaan maaf dan penjelasan kepada Qeiza, Adnan tidak lagi menunda waktu untuk menyantap hidangan di depannya. “Ya ampun! Kamu benar-benar kelaparan?” Qeiza kaget melihat makanan di atas meja nyaris habis tak bersisa. “Sudah berapa hari tidak makan?” Dia menghabiskan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit untuk mandi. Berdandan pun seadanya. Dia pikir dia masih punya waktu untuk sekadar berbincang santai dengan Adnan di meja makan. “Aku sudah lama tidak mencicipi masakanmu,” komentar Adnan. Dia terkekeh. “Karena kau sangat sibuk dengan pensil dan buku gambar, kupikir kau sudah lupa caranya memasak.” “Bilang saja kau senang dapat jatah makan gratis,” cemooh Qeiza. Setidaknya kehadiran Adnan membuat harinya sedikit lebih berwarna dan ceria. “Kau ke sini hanya ingin numpang makan?” tanya Qe
Read more
Bab 97
Seekor singa jantan tidak akan membiarkan singa lain memasuki wilayah kekuasaannya. *** “Hentikan!” Qeiza menahan pergelangan tangan Ansel. “Kau lebih membela bajingan ini daripada aku?” Kepalan tinju Ansel semakin mengeras. “Ini sudah malam,” ujar Qeiza, berjuang mengendalikan nada suara dan emosinya. “Waktunya untuk istirahat dengan tenang. Kau tidak bermaksud mengundang orang-orang yang tinggal di sini untuk keluar, kan?” Ansel masih bertahan dengan kejengkelannya. Tatapan matanya tajam menikam pada Adnan. Membuat Qeiza merasa jengah. Dia pun melepaskan tangannya dari Ansel. “Terserah! Lakukan apa yang kau mau,” ujar Qeiza. “Aku mau tidur.” Qeiza balik badan. Ansel hanya bisa melongo. Tak percaya kalau Qeiza akan bersikap sesantai itu. “Kalau ada di antara kalian yang butuh tenaga medis, kalian harus cari sendiri,” pesan Qeiza. “Aku malas meladeni anak kecil yang keras kepala.” Suara bantingan pintu menyadarkan Ansel dari keterpanaannya. Adnan menyeringai. Tanpa aba-aba, d
Read more
Bab 98
“Kau tidak kesulitan mencari alamatku, kan?” tanya wanita itu, duduk di seberang Qeiza. “Untungnya tidak.” “Baguslah,” komentar wanita itu. “Apa kau membawa desainmu?” tanyanya tanpa memperkenalkan diri. Dia yakin sekali Qeiza sudah mengetahui identitasnya. “Tentu saja, Nona Joanna,” jawab Qeiza. Dia membuka ipad. Mencari rancangan yang sudah disiapkannya untuk Joanna. “Ini. Anda boleh memilih mana yang Anda suka,” ujar Qeiza, menyodorkan ipad-nya kepada Joanna. “Aku menginginkan gaun pengantin bergaya vintage sekaligus memiliki kesan etnik yang sangat kental.” Joanna terus mengemukakan seleranya selama mengamati gambar-gambar koleksi Qeiza. “Apa Anda punya referensi khusus?” tanya Qeiza. Sebagian besar gaun yang dirancangnya itu menampilkan budaya Indonesia. “Tidak juga,” sahut Joanna. “Selama aku menyukainya, tidak masalah etnik mana yang ditampilkannya.” “Wah, ini sepertinya sangat bagus,” puji Joanna. Pupilnya membesar ketika melihat koleksi gaun terakhir. Qeiza mendekat
Read more
Bab 99
Merasa cemburu saat melihat tambatan hati bersama orang lain itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika kecemburuan itu membabi buta hingga kau menyakiti fisik dan perasaannya. *** “Katanya kalian mengundang desainer hari ini. Mana?” tanya Ansel. Dia mengedarkan pandangan berkeliling. Tak seorang pun di ruang tamu itu selain sepasang calon pengantin. Mereka tampak linglung, menatap ke arah pintu. “Kok bengong?” Ansel melambaikan tangan di depan mata Felix. Felix dan Joanna tersadar. “Ah, Ansel. Silakan duduk!” ujar Joanna. Dia sedikit kikuk. “Kalian berdua tampak aneh,” tutur Ansel. “Apa karena dia tidak datang?” “Siapa?” tanya Felix. Mimik mukanya terlihat bodoh. “Siapa lagi kalau bukan desainer yang ingin kalian perkenalkan padaku.” Felix dan Joanna kembali saling pandang. “Maaf,” kata Felix. “Dia baru saja pergi.” “Pergi? Kenapa cepat sekali?” Ansel mencium gelagat aneh. “Entahlah. Sepertinya dia sangat terburu-buru,” imbuh Joanna. “Mungkin dia tidak percaya diri untuk m
Read more
Bab 100
Qeiza meraih foto yang disodorkan Chin Hwa. Mengamatinya sesaat. “Dari mana kau dapat foto ini?” tanyanya. “Tidak penting dari mana aku mendapatkan foto itu,” sahut Chin Hwa. “Jawab saja pertanyaanku!” Qeiza mengalihkan pandangannya pada wajah Chin Hwa. Lelaki itu tak lagi seramah biasanya. “Hahaha ….” Tawa Qeiza pun pecah. “Kau cemburu?” godanya. Chin Hwa menyipitkan mata. Tanggapan Qeiza berbeda dari apa yang dibayangkannya. Dia berasumsi Qeiza akan gugup dan menyangkal foto yang diperlihatkannya. Tak disangka wanita itu malah tertawa renyah. Menganggap kecurigaannya sebagai sebuah lelucon. “Enggak,” sangkalnya. “Aku hanya ingin tahu.” “Oh ya?” Qeiza tak percaya. “Wajahmu mengatakan yang sebaliknya.” Dia masih saja melayangkan tatapan mencemooh pada Chin Hwa. “Apa aku tidak boleh bertanya tentang orang-orang yang dekat dengan calon istriku?” tanya Chin Hwa. Berusaha untuk bersikap sesantai mungkin. Jujur saja, hatinya terbakar cemburu saat pertama kali melihat foto Qeiza bers
Read more
PREV
1
...
89101112
...
18
DMCA.com Protection Status