All Chapters of My Obsessive Ex: Chapter 141 - Chapter 150
176 Chapters
Bab 141
Teman tak selamanya melindungimu. Adakalanya, justru merekalah yang menusukmu dari belakang. *** Qeiza sedang membersihkan wajahnya dari sisa-sisa make up. Ponselnya sedari tadi berbunyi. Dia mengabaikannya. Malas beranjak dari depan cermin, hanya untuk kembali lagi. “Siapa sih?” Qeiza bersungut-sungut. Gawainya terus bernyanyi. Terpaksa dia bangun juga. Qeiza melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Ingatannya langsung melayang pada Abbas. “Mau pinjam uang lagi?” batin Qeiza. Meraih ponselnya dengan enggan. Keningnya mengerut. Ternyata bukan nama Abbas yang muncul pada layar ponselnya. Qeiza menurunkan tangannya. Tulangnya seketika tak bertenaga. “Apa lagi sekarang?” Qeiza benar-benar frustrasi menghadapi sikap Ansel. Lelaki itu tak kenal kata menyerah dalam kamus hidupnya. Kesal lantaran ritual keperempuanannya terganggu, Qeiza melempar ponselnya ke atas kasur. Tentunya dia telah mematikan nada dering. Biar saja Ansel terus memanggilnya. Nanti dia juga akan bosan bila
Read more
Bab 142
“Aku merasa seperti tak mengenali kalian lagi.” Adnan terkekeh mendengar keluhan Qeiza. Kendaraannya melaju kencang. Semakin jauh meninggalkan kantor Qeiza. Qeiza terduduk tegap. Dia melihat ke luar jendela. “Lo, bukannya ini salah jalan ya?” tanyanya. Seingatnya, Vany pernah memberitahu alamatnya. Itu bukan jalan yang kini Adnan tempuh. “Enggak kok. Jalannya sudah benar,” timpal Adnan. “Vany sedang menginap di rumah kerabatnya.” Kelebat resah membayang di mata Adnan. Cepat-cepat dia mengalihkan pandangannya dari kaca spion ke jalan. Khawatir akan beradu tatap dengan Qeiza. Untungnya, Qeiza tak lagi banyak bertanya. Hanya diam. Membuang pandang pada bangunan dan pepohonan di tepi jalan yang terlihat seperti sedang berlari mengejar mereka. Adnan bernapas lega. Dia tidak terlalu pandai berbohong. Jika Qeiza terus mengorek informasi darinya, bisa jadi dia akan kelepasan bicara. Qeiza kembali duduk tegap. Suara mesin mobil Adnan terdengar kasar. Jalannya pun mulai tersendat-sendat.
Read more
Bab 143
Laki-laki dan perempuan tidak akan pernah benar-benar bisa menjadi teman dekat hingga dewasa. Kalaupun ada, mungkin hanya satu dari seribu. *** Qeiza terjaga. Dia membuka mata, tetapi tak bisa melihat apa-apa. Dia mendapati dirinya berada dalam sebuah ruangan gelap. Terbaring di atas lantai dengan kedua tangan dan kaki terikat. Qeiza mencoba duduk. Kepalanya terasa pusing. Dia menggeleng. Berusaha mengusir sisa-sisa obat bius yang masih memengaruhi kinerja otaknya. “Di mana ini?” Qeiza membatin. Dia berdiri di atas lutut. Ruangan tersebut terasa pengap dan lembab. Seperti sudah lama tidak terpakai. “Apa ini gudang tua?” Qeiza mempertajam penglihatannya. Berharap bisa mengenali benda-benda yang mungkin ada di ruangan tersebut. Beruntung cahaya bulan merembes masuk dari bagian atas dinding sebelah kanannya. Bergegas dia melempar pandang sekeliling. Sebelum pendar bulan itu kembali menghilang di balik awan. Qeiza menyadari dirinya saat ini berada di ruang bawah tanah. Pantas saja
Read more
Bab 144
“Wah, wah … sepertinya aku ketinggalan,” tegur sebuah suara. Lelaki berwajah bulat itu mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Adnan?” Sebuah harapan tebersit di hati Qeiza saat melihat siapa yang datang. Qeiza hendak membuka mulut untuk meminta bantuan kepada teman lamanya itu. “Tidak! Itu tidak mungkin!” batin Qeiza. Mulutnya kembali terkunci. Adnan melangkah tanpa hambatan untuk mendekatinya. “Halo, Qei!” sapa Adnan. Berjongkok di hadapan Qeiza. Dia mengulurkan tangan. Ingin menyentuh wajah Qeiza. “Singkirkan tangan kotormu itu dari wajahku!” Qeiza tak percaya lelaki yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat terbaik justru sengaja menjebaknya. “Ssst! Tenanglah!” ujar Adnan. “Tidak baik marah-marah. Kau akan semakin cepat tua.” “Seharusnya kau berterima kasih padaku,” imbuh Adnan. “Aku menyelamatkanmu lagi.” “Cuih!” Qeiza meludahi wajah Adnan. “Kau sama gilanya dengan Aleta.” Adnan membersihkan mukanya. Rahangnya mengeras, tetapi dia tetap menampilkan senyuman. “No, no.”
Read more
Bab 145
Hampir pukul sebelas malam. Chin Hwa baru saja tiba di rumah. Dia menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot-otot lehernya yang terasa tegang. Dia membanting diri ke atas kasur. Merentangkan kedua tangannya seperti burung terbang. Kakinya dibiarkan menjuntai di tepi ranjang. “Anin!” Ingatannya tentang Qeiza membuatnya kembali duduk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku. Dengan senyum terkembang, dia menghubungi nomor Qeiza. Panggilan tersebut tak tersambung. Setiap kali dia memanggil ulang, tetap hanya terdengar sahutan dari operator. Tidak biasanya Qeiza mengabaikan panggilannya. Tiba-tiba Chin Hwa merasa tak tenang. Dia melepas pakaiannya yang penuh keringat dan menggantinya. Karena cuaca terasa semakin dingin, dia mengenakan jaket yang lebih tebal. Sementara di ruang bawah tanah, Qeiza masih berkutat untuk melepaskan tali yang mengikat tangannya. Matanya sesekali mengawasi dua anak buah Aleta. Mereka semakin dekat. “Minggir!” Lelaki berwajah bulat mengusir Adn
Read more
Bab 146
“Oppa?” Qeiza senang sekaligus khawatir mengetahui Chin Hwa datang untuk menyelamatkannya. Si mata biru memanfaatkan momen lengah Qeiza. Dia melompat, mengincar ulu hati Qeiza dengan tendangan berkekuatan penuh. “Anin, awas!” Chin Hwa berteriak memperingatkan Qeiza. Dia juga bergerak. Menghantam kaki si mata biru dengan lemparan sepotong kayu. Dia memungut potongan kayu tersebut di luar pintu masuk ruang bawah tanah itu. “Kurang ajar!” Si mata biru memaki kesal. Dia mengalihkan serangannya kepada Chin Hwa yang kini sudah berdiri di sisi Qeiza. “Menepilah!” Chin Hwa mendorong tubuh Qeiza menjauh. “Tapi, Oppa—” “Tinggalkan ruangan ini!” perintah Chin Hwa tegas, memotong sanggahan Qeiza. Qeiza mengangguk. Chin Hwa benar. Dia harus keluar dari tempat itu untuk meminta bantuan. “Mau ke mana, Nona?” Seorang lelaki tak dikenal Qeiza tiba-tiba mengadang jalannya ketika dia hendak menaiki tangga. Qeiza melangkah mundur. Lelaki yang baru tiba itu lebih tinggi dari dua lelaki lainnya.
Read more
Bab 147
Raung sirine ambulans memecah kesunyian malam. Ambulans itu melaju dengan kecepatan tinggi. Berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa Chin Hwa. Qeiza tak sedetik pun melepaskan genggamannya dari tangan Chin Hwa. Lelaki itu masih tak sadarkan diri. Dalam hening, Qeiza senantiasa memanjatkan doa semoga calon suaminya itu baik-baik saja. Tak masalah bila pernikahan mereka harus tertunda. Yang penting, Chin Hwa selamat. Ansel tiba di lokasi kejadian saat semua ketegangan itu telah berakhir. Hanya beberapa orang polisi masih terlihat memasang garis kuning. “Sial! Aku selalu saja terlambat.” Ansel meninju angin. Dia sudah memperingatkan mantan istrinya itu akan bahaya yang mengancam nyawanya. Akan tetapi, sepertinya Qeiza tak menanggapinya dengan serius. Dia juga sudah mengirim seseorang untuk mengawasi Qeiza. Sialnya, dia masih saja kalah cepat. Ansel kembali ke mobil. “Susul ambulans itu!” perintahnya pada sopir taksi yang disewanya. Taksi itu pun melaju kencang. “Lebih cepat l
Read more
Bab 148
Ansel berlari mendekati Qeiza yang baru hendak turun dari ranjang. “Jaga jarak, Bung!” Dae Hyun menahan tangan Ansel yang sudah terulur. Dia ingin merangkul Qeiza. “Maaf!” Ansel bergerak mundur. Dae Hyun ternganga. Tidak salah? Seorang Ansel minta maaf? Apa tadi pagi matahari terbit dari Barat? Dae Hyun membantu Qeiza turun dari ranjang. “Aku tidak mau pulang, Oppa,” rengek Qeiza. “Aku mau tetap di sini. Aku … aku mau menunggunya.” Qeiza memandang Dae Hyun dengan tatapan penuh harap. Dia tak peduli dengan rasa sakit yang mulai menyerang sekujur tubuhnya. Dia hanya ingin menjadi orang pertama yang berada di sisi Chin Hwa saat lelaki itu bangun. “Baiklah.” Dae Hyun mengalah. Ansel hanya bisa melihat keakraban Dae Hyun dan Qeiza dengan perasaan tak menentu. Antara iri dan juga cemburu. Kalau dia tidak menceraikan Qeiza, wanita itu pasti akan menggelayut manja di lengannya. Andai waktu bisa diputar mundur, dia ingin kembali ke masa empat tahun silam. Dia akan mengubah kisah cintan
Read more
Bab 149
“Oppa …,” lirih Qeiza seraya membuka mata. Dia tergugu ketika tak menemukan Dae Hyun di sampingnya. “Kau sudah sadar, Nak,” seru Alina. “Syukurlah.” “Tante … kenapa Tante di sini?” Seingat Qeiza, sebelum dia kehilangan kesadaran, dia sedang bersama Dae Hyun. “Itu tidak penting, Sayang,” tukas Alina. “Bagaimana keadaanmu?” Qeiza merasakan sekujur tubuhnya nyilu. Tulang-belulangnya seperti remuk redam. Sulit untuk digerakkan. “Syukurlah kau sudah bangun, Qei,” ujar Ansel. Dia baru saja masuk ke ruangan itu. Qeiza semakin heran. Kenapa mantan suami dan mertuanya yang menemaninya. Ke mana Dae Hyun? Ansel menepi ketika dokter dan perawat ingin memeriksa Qeiza. Memberi ruang kepada tenaga medis tersebut untuk melaksanakan tugas mereka. “Anda hanya butuh istirahat, Nona,” kata dokter. “Dalam dua hari Anda boleh pulang.” “Tapi, Dok—” “Itu untuk kebaikanmu, Qei,” potong Ansel. “Jangan membantah!” Dokter dan perawat meninggalkan ruangan tersebut setelah meresepkan obat untuk Qeiza.
Read more
Bab 150
“Ada apa?” tanya Ansel. Dia menangkap kegelisahan Qeiza setelah menaruh tabletnya di atas meja. Qeiza menatap ragu pada Ansel. “Kau butuh sesuatu?” Ansel mengernyit. Dia tahu Qeiza mungkin segan untuk mengatakan keinginannya. “Kau mau membantuku?” Qeiza merasa seperti baru saja menemukan setitik cahaya di tengah kegelapan. Tawaran Ansel memunculkan sebuah ide gila di kepalanya. “Tentu saja. Kau mau apa?” “Aku … um … kau bisa mencarikan sari kurma?” “Apa? Ini Paris, Qei!” kaget Ansel. “Kau bisa menemukan sirup maple dengan mudah, tapi … entah dengan sari kurma.” “Ya sudah kalau tidak mau!” Qeiza melengos. “Eit, tunggu!” Ansel sadar dia telah salah bicara. Ini adalah kesempatannya untuk menarik hati Qeiza. Dia tidak boleh melewatkannya. “Aku tidak bilang aku tidak mau,” ralat Ansel. “Tapi … bagaimana kalau seandainya aku tak bisa mendapatkan apa yang kau inginkan?” Ansel menatap lekat wajah Qeiza. “Apa kau punya alternatif lain?” Hati Qeiza kembali menyemai harap. Dia sengaja m
Read more
PREV
1
...
131415161718
DMCA.com Protection Status