Semua Bab Wanita Penjual ASI: Bab 21 - Bab 30
84 Bab
Pulanglah, Malilah!
"Maaf Mas. Tadi yang menjaga pasien  mengatakan tiba-tiba dia menjerit sendiri. Ketika kami datang pun dia masih menjerit-jerit seperti melihat sesuatu yang menakutkan. Sejak itu tekanannya langsung naik melebihi sebelumnya. Tolong pasien dijaga dengan baik. Karena bila tekanan melebihi angka 200 bisa mengakibatkan pembuluh darah pecah," saran Dokter. Hanan mengangguk."Oh, ya. Mas. Ibunya ini juga mengalami gejala stroke ringan. Makanya kalau sakit sering susah bicara.""Jadi, apa yang harus aku lakukan, Dok?Apa mama bisa sembuh?"Hanan terkejut mendengar penjelasan Dokter."Tenang. Hanya gejala ringan. Jadi tidak boleh terlalu capek dan tidak boleh terlalu banyak pikiran saja untuk menjaganya. Perbanyak jalan-jalan di bawah Sinar matahari pagi," terang Dokter membuat Hanan sedikit lega.***"Malilah, ini ASI untuk Arumi. Karena dia lebih tenang dengan kamu, maka selama Arumi di sini, tugas kamu dialihkan mengurus dia saja!" ucap Bu Heni sambil
Baca selengkapnya
Panggil Aku, Nyonya!
"Hanan! Apa yang kamu lakukan? Siapa Dia?" tanya Bu Heni langsung berdiri."Bu ... dia ini .... pengasuh Arumi, sekaligus Ibu ASI untuknya," sahut Hanan membuat Fania langsung menarik tangan Hanan menjauh dari Malilah. Raut wajahnya jelas memperlihatkan ketidaksukaan besar. Sementara Bu Heni langsung menatap Malilah tajam. "Ayo, Mas. Aku pulang. Ayo! Kita pulang. Mulai hari dia bukan pengasuh Arumi. Dia pembantu di sini," ucap Fania sambil merebut paksa Arumi dari tangan Bu Heni. "Fania! Bisa enggak kamu memperlakukan Arumi lebih lembut?" Hanan mendekat dan mengambil Arumi dari tangan Fania. Arumi yang kaget karena diangkat dengan gerakan kasar langsung menangis. Hanan langsung mendekat pada Malilah kemudian menyerahkan Arumi. Tak tega mendengar suara tangisan Arumi, Malilah langsung menyambut. Sebentar saja Malilah menenangkan Arumi, tangisnya perlahan reda."Mas! Aku mau ikut. Pokoknya aku mau ikut!" ucap Fania memaksa sambil me
Baca selengkapnya
Tuan?
Semua pembantu Hanan sebelumnya memanggil dengan sebutan demikian. Malilah tak menjawab, hanya mengangguk sambil tersenyum.Fania kemudian membantu Malilah membawa barang-barangnya kembali ke depan menemui Hanan. Wajah Hanan langsung tersenyum cerah melihat hal itu."Bu Heni, Maaf!" ucap Malilah merasa tak nyaman, baru sehari bekerja langsung ditinggalkan. Bu Heni hanya mengangguk singkat. Menghadapi situasi saat itu, bingung ia ingin berkata apa. Semuanya jadi serba salah. Malilah mengambil Arumi dari tangan Bu Heni, lalu mereka pun berpamitan.Hanan meraih tas Arumi juga tas Malilah yang kerepotan menggendong Arumi. Fania langsung merebut tas Malilah dan mengganti dengan tasnya yang tidak seberapa besar. Walaupun susah payah, ia lebih memilih membawa tas Malilah. Sepertinya ia tak rela suaminya membawakan tas orang lain. Sampai di mobil, Bu Ratih terkejut bukan kepalang. Bu Ratih tak menyangka Hanan akan keluar berbarengan dengan Fani
Baca selengkapnya
Cemburu
"Iya? Kenapa? Tadi istri Tuan bilang, aku harus panggil begitu, dan memang begitu seharusnya," sahut Malilah pelan tetap tak mau menatap wajah Hanan. Gantian Hanan memperlihatkan raut wajah tak suka mendengar jawaban Malilah. Tanpa bicara lagi, ia langsung keluar dari kamar Arumi, untuk melihat keadaan ibunya di kamar sebelah.***Karena kondisi Bu Ratih harus banyak istirahat, maka Hanan berinisiatif untuk meminta Fania membantunya mempersiapkan makan malam. "Mas, masaknya banyak banget," tanya Fania heran. "Iya, kan Malilah harus banyak-banyak makan sayuran, terutama sayuran hijau, supaya ASInya lancar, mama juga makannya harus dijaga, soalnya kolesterol," jawab Hanan sambil tersenyum. "Kamu, kok perhatian gitu sama Malilah, Mas?" suara Fania terdengar tak suka. Hanan menghentikan kegiatannya sebentar dan berpaling menatap Fania. "Bukan untuk Malilah, tapi untuk Arumi," jawab Hanan memberi pengertian. Fan
Baca selengkapnya
Keinginan Fania
"Ehem!" Hanan yang duduk berhadapan dengan Malilah mendadak berdiri. Ia tak menyangka Fania kembali secepat itu."Loh, Dek. Kok dibawa balik?" tanya Hanan heran dan sedikit panik."Mama enggak mau makan, mungkin gak mau kalau aku yang suapin." Fania meletakkan nampan sedikit kasar di atas meja dekat Malilah makan. "Masa sih?" Hanan beranjak menuju kamar ibunya. "Ma ... Ma! Kenapa enggak makan? Makan biar cepat sembuh! Ntar minum obat!"  Bu Ratih diam saja tak menjawab ucapan Hanan. "Mama mau Hanan yang suapin?" Bu Ratih menggeleng. Hanan kembali dengan raut kecewa. Malilah yang baru selesai makan, langsung meraih nampan tadi. "Aku coba ya," ucapnya. Hanan menatap Malilah sangsi, kemudian mengikuti dari belakang. Fania pun mengikuti. "Bu, makan ya," ucap Malilah lembut. Bu Ratih terdiam kemudian mengangguk. Ia beralih menatap ke arah Fania kemudian menata
Baca selengkapnya
Terlalu Manis, Hanan!
Malilah terdiam. Ucapan Fania ada benarnya juga. Keduanya sama-sama diam, sampai Arumi selesai menyusui dan mulai tertidur. Fania langsung mengangkat Arumi kembali untuk dibawa ke kamarnya kembali. "Karena Arumi sekarang lebih banyak sama aku, jadi ... pekerjaan dapur yang lain saja kamu kerjakan. Nyiapin makanan, nyapu, nyuci!" perintah Fania sebelum meninggalkan kamar. Malilah mengangguk patuh. Tak nyaman juga rasanya hanya berdiam diri bila memang tugasnya terhadap Arumi hanya sebatas itu sekarang. ***Arumi kasak-kusuk di tempat tidur. Sepertinya ia gelisah. Padahal hari sudah malam. Fania pun mulai terpejam beberapa kali. Saat Fania mulai terlelap, Arumi kembali menangis. "Maas! Kamu gendong dulu dia biar diam. Aku ngantuk berat niih!" ucap Fania tanpa mau membuka mata. Hanan menuruti ucapan istrinya. Dalam gendongan Hanan, Arumi sedikit tenang. Namun bila diletakkan kembali, Arumi mulai rewel lagi. Hampir satu jam sudah
Baca selengkapnya
Sama-Sama Egois
Fania langsung mengangkat Arumi dan membawa ke kamar mereka kembali. Hanan langsung mengejarnya dari belakang. Sementara Malilah langsung terduduk bengong karena kaget. Kejadiannya terlalu cepat. Malilah turun dan diam-diam mengikuti langkah mereka ke kamar, memastikan Arumi tidak menangis. Bruk!Fania menutup pintu kamar dengan kasar, membuat Arumi terkejut dan seketika menangis. Fania meletakkan begitu saja Arumi di kasur. "Brengsek kamu, Mas! Kamu ninggalin aku sendiri, cuma buat tidur di kamar pembantu itu! Plaaak!" Satu tamparan dari tangan Fania melayang ke pipi Hanan. Hanan mengusap wajah sambil mendekat pada Arumi yang makin menangis mendengar suara Fania berteriak. "Aku belum selesai bicara, Mas! Kenapa kamu bawa Arumi ke sana? Aku kan sudah bilang, biar aku yang bawa kalau dia mau nyusu." "Fania! Kamu sudah berkali-kali kubangunkan, tapi kamu tidur seperti orang mati saja. Siapa lagi yang membawanya
Baca selengkapnya
Berteman Saja
"Pak Bos. Sebaiknya, dikamar ibu saja kalau ....""Aku mau di sini!"Malilah akhirnya mengalah. Ia melangkah keluar menuju kamar Bu Ratih, sekaligus melihat kenapa Bu Ratih tak bersuara. Aneh rasanya bila ia tertidur dengan situasi yang lumayan ribut dan panas saat itu. "Permisi, Bu!"Bu Ratih berbalik, kemudian duduk saat melihat Malilah datang bersama Arumi."Bu, maaf. Boleh aku menidurkan Arumi di sini sementara?"Bu Ratih mengangguk dan bergeser memberikan selah. Malilah duduk di tepi ranjang. "Kenapa? Apa Hanan ada di sana?" Malilah mengangguk. Ia kemudian memberikan ASI pada Arumi dengan tenang. "Hanan memang begitu, kalau lagi marah atau kesal pasti maunya tidur di kamar itu. Itu kamarnya waktu sendiri dulu. Setelah menikah dengan Fania, baru dia pindah ke kamar depan," tutur Bu Ratih pelan. Malilah menyimak dengan baik. Berati tadi Bu Ratih terbangun saat mereka bertengkar? "I
Baca selengkapnya
Dukungan Ibu
"Enggak enak, tapi kayaknya habis banyak!" sahut Malilah sambil melirik mangkok yang tadi berisi sayur dan piring ikan. "Terpaksa, karena aku kelaparan. Tadi malam sampe lupa makan," jawab Hanan sambil meraih tisu."Arumi masih sama Mama ya? belum bangun?" tanya Hanan lagi."Udah, dikamar kok. Sama mamanya!""Apa? Kok ditinggal!"Hanan langsung melompat meninggalkan dapur dan berlari menuju kamar Arumi. Malilah geleng-geleng kepala. Sepertinya emang Hanan yang terlalu berlebihan selama ini. Hanan buru-buru membuka pintu kamar, dan bernapas lega melihat Arumi sedang berbaring di kasur. Ia mendekat sambil melirik Fania di samping Arumi. "Mas ....""Aku ... minta maaf ya, soal tadi malam. Aku ... khilaf. Aku juga sudah minta maaf sama Malilah," ucap Fania sambil turun dari ranjang dan bergelayut di lengan suaminya. Hanan terdiam. Kesalnya bukan hanya karena sikap Fania pada Malilah. Tapi juga karena
Baca selengkapnya
Berkelahi Lagi
Hanan kehilangan jejak Dimas yang membawa Malilah begitu cepat. Tapi hatinya mengatakan pasti Dimas membawa Malilah kembali ke rumah mereka. Akhirnya ia pun menyusul kesana. Brrukk!Karena terburu-buru Hanan lupa menurunkan standar sepeda motor. Ia berhenti sebentar, namun tak perduli langsung berlari menuju rumah Malilah. Ia mendengar suara Malilah sesekali menjerit dari dalam.Hanan mencoba mendorong pintu, dan ternyata tak terkunci. Pelan-pelan ia menerobos masuk. Ia melangkah pelan-pelan ke kamar Malila. Sesekali tangannya menutup telinga, tak tahan dengan rintihan Malilah. Ingin rasanya ia menerobos, tapi Dimas benar. Dia berhak atas Malilah karena suaminya. Tapi, rasanya Hanan tak terima caranya. Hanan masih melangkah pelan sambil memutar otak. Teringat ibunya pernah merekam Dimas perbuatan Dimas dulu. Hanan mengeluarkan ponsel dan melakukan hal yang sama. Ia mendekat ke pintu kamar sambil memegang ponsel. "Buka bajumu, Lila!""Mas!
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status