All Chapters of Ketika Istri Tua Suamiku Hamil: Chapter 31 - Chapter 40
86 Chapters
Part31
Aku tersenyum melihat Mas Deni yang tiba-tiba datang. Atau mungkin dia sudah mendengarkan ucapan kami barusan."Eh, kamu, Den. Ngagetin aja," ucap Mbak Indah. Hanya saja gaya bicaranya sedikit lemah lembut daripada saat bicara denganku tadi."Ngapain kamu?" tanya Mas Deni."Mau ketemu Tante Rima aja. Lagi bosan di rumah.""Bulek lagi nggak enak badan. Lagi nggak mau diganggu.""Tante sakit ya, Den. Aku mau jenguk ah. Raka di dalem juga, kan?"Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Terang-terangan menunjukkan sikapnya pada semua orang."Raka nggak ada.""Lho, tapi ini...." Dia memandangiku dari atas ke bawah. Dia pasti berpikir, kalau aku datang ke sini bersama Mas Raka."Delima ke sini karena permintaan mertuanya. Kangen sama mantu, makanya sampe sakit." Mas Deni mengarang cerita.Mbak Indah memasang wajah tak suka. Dia cemberut. "Aku juga pengen ketemu, kok. Tante juga pasti kangen sama aku. Aku kan juga dulu calon menantunya." Dia melirikku. Seolah ingin memanas-manasiku."Kamu ka
Read more
Part32
"Dih, emangnya Mas Deni kenapa? Harus dikerjain segala?" Aku mulai berani ikutan menggodanya. Aku tahu, Mas Deni pasti hanya ingin mengajakku bercanda. Berusaha untuk menghiburku saja. Dia pasti berpikir, kalau aku ini sedang larut dalam kesedihan. Padahal, memang perceraian inilah yang aku harapkan."Eh, itu. Maksud Mas, ya seperti yang Mas bilang tadi. Nanti Mas carikan kerjaan buat kamu." Anehnya dia malah terlihat gugup. Padahal aku sudah bisa menangkap maksud ucapannya."Wah, makasih ya, Mas. Jadi tukang bersih-bersih juga Delima mau kok. Yang penting kerja.""Iya, iya. Nanti Mas usahakan." Dia mengusap-usap leher belakangnya. Aneh..Aku menceritakan pembicaraan itu saat makan malam. Mama tampak tersenyum mendengar ucapanku yang begitu bersemangat. Kali ini Mama makan dengan begitu lahap. Sepertinya suasana hatinya sudah jauh lebih tenang."Kenapa nggak diajak makan malam aja Deninya tadi?" tanya Mama kemudian."Astaghfirullah alaziim. Delima nggak kepikiran, Ma. Aduh, kira-ki
Read more
Part33
"La, iya. Mas Deni kan tinggal sendiri. Jadi, seminggu sekali, Bibik ke sana buat bersih-bersih.""Oh, gitu. Delima boleh ikut nggak, Bik?" Aku juga ingin sekali melihat tempat tinggalnya Mas Deni. Sejak tinggal di sini, tak sekalipun aku pernah diajak ke sana.Mungkin karena dia tinggal sendiri. Lagipula, mana mungkin dia mau mengajakku ke rumahnya. Jelas-jelas aku ini masih jadi istri sepupunya. Dasar aku nya saja yang tidak tahu diri, dan terlalu banyak berharap."Boleh, Mbak. Ayuk."Bik Inah seperti sudah terbiasa. Dia membuka pintu dengan kunci yang dia pegang. Mas Deni tidak ada di rumah. Pasti mengantar Mama ke rumah Lara. Seperti yang biasa dia lakukan saat ke rumah Mas Raka. Dan sepertinya, Bik Inah sudah menjadi orang kepercayaan memegang kunci rumahnya.Rumah Mas Deni tak kalah besar sama rumah Mama. Heran juga melihat rumah-rumah di kota. Untuk apa mereka membangun rumah besar-besar, kalau toh akhirnya tinggal sendirian juga. Sama halnya dengan Mama. Kalau bukan karena ada
Read more
Part34
"Mas Raka?" Mataku membesar, melihat dia yang tiba-tiba datang.Dia berjalan dengan perlahan mendekatiku. Aku refleks melangkah mundur.Sedang apa dia di sini? Apa Bik Inah belum juga kembali? Apa saat ini kami sedang berdua saja di rumah? Kenapa dia mengunci pintu? Apa dia berniat berbuat yang tidak-tidak padaku? Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikiranku."Mas Raka? Sedang apa di sini?" Aku memberanikan diri bertanya."Ini kan kamar Mas, Dek," jawabnya, semakin mendekatiku."I-iya. Maaf. Mama yang nyuruh Delima nempati kamar ini." Aku semakin gugup."Ya, nggak papa. Mas kan nggak ada ngelarang, atau nyuruh kamu keluar.""Maksud Delima, Mas Raka mau apa ke sini? Mama lagi nggak ada. Emang Mas Raka, belum tau, kalau Lara sudah mau lahiran?""Mas kangen sama kamu, Dek." Dia semakin mendekat. Aku yang merasa terpojok, berusaha untuk menghindar. Namun, tangannya dengan cepat menarik pinggangku hingga kini berada dalam dekapannya."Mas Raka mau apa?" Aku semakin ketakutan. Tubuhku meron
Read more
Part35
Dia bangkit dan keluar dengan marah. Aku kembali terduduk lemah di atas ranjang. Merasa lega, karena kembali dapat terbebas darinya. Aku tak menyangka, kalau sikap Mas Raka jadi mengerikan seperti itu. Tak lama aku menyusul ke bawah. Kulihat Bik Inah dan Mas Deni sedang mengobrol berdua."Mas Raka nya mana, Bik?" tanyaku."Sudah pulang, Mbak," jawab Bik Inah."Oh, syukurlah." Aku menarik napas lega."Memangnya Raka kenapa, Delima? Apa yang udah dia lakuin sama kamu? Ngapain dia masuk ke kamar kamu? Bukannya kalian sudah mau bercerai?" Mas Deni terlihat seperti khawatir."Eh, anu. Enggak apa-apa, Mas. Mas Raka cuman mau tau kabar Delima aja. Karena pesan dari Mas Raka nggak pernah Delima balas." Aku beralasan."Oh, baguslah. Soalnya tadi pas Mas tegur, dia langsung pergi gitu aja. Mas takut kamu kenapa-napa.""Makasih ya, Mas. Udah khawatirin Delima.""Iya, Delima. Lain kali kalau kamu kenapa-napa, jangan ragu hubungi Mas, ya.""Iya, Mas. Kalau Mas nggak keberatan.""Enggak kok. Mas d
Read more
Part36
Tanpa kami sadari, rupanya Mama sudah ada di dapur. Saking asyiknya kami mengobrol hingga tak mendengar suara langkah kaki Mama.“Eh, anu, Buk. Tadi Mas Raka datang.” Bik Inah dengan cepat menjawab.“Raka? Mau apa dia kemari?”Aku dan Bik Inah saling menoleh. Apa lagi alasanku kali ini agar Mama tak semakin marah dan membenci anak laki-lakinya itu.“Jawab, Delima!” Sepertinya Mama tak sabar menunggu jawaban.“Anu, Ma. Mas Raka hanya menanyakan kabar Delima aja.”“Terus?”“Mas Raka tidak mau menceraikan Delima, Ma.” Aku tak bisa lagi menyembunyikannya.“Kamunya gimana?” Aku mengernyit. Pertanyaan macam apa itu. Jelas-jelas aku sudah bilang ingin cepat-cepat bercerai.Apalagi melihat kelancangan Mas Raka tadi. Andai aku masih terus menjadi istrinya, dia pasti akan terus mencoba mendapatkan apa yang dia inginkan. Apa lagi saat ini Mbak Silvi belum juga bisa melayaninya layaknya seorang istri. Pada siapa lagi dia tuntaskan hasratnya itu, kalau bukan padaku.“Bagaimana, Delima?” Mama mengu
Read more
Part37
Apalagi sampai bisa tinggal dengan Bue dan Sidik segala. Ternyata Allah masih berbaik hati padaku. Meski perasaanku ini nantinya bisa menyakiti hatiku, tapi setidaknya untuk saat ini, aku telah terbebas dari menyakiti hati wanita lain.“Maaf, Mas Raka. Apa pun yang Mas Raka tawarkan, Delima tetap nggak bisa.” Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.“Pikirkan lagi, Dek. Kita baru menikah dua bulan. Apa kamu mau pulang gitu aja, terus jadi bulan-bulanan orang di kampung? Mas nggak akan biarin hal itu, Dek.” Mas Raka tetap bersikeras.“Ma, tolong Mama yakini Delima, Ma. Raka nggak mau pisah. Raka....” Mas Raka juga memohon pada Mama.“Kamu kenapa?” tanya Mama, mendengar ucapan Mas Raka yang tadi sempat terhenti.“Raka... mencintai Delima, Ma. Raka tidak ingin kehilangan Delima. Raka tau Raka seperti sudah mengkhianati Silvi. Tapi bukankah ini juga atas andil dia sendiri? Andai dia tidak hamil seperti sekarang ini, apa mungkin dia membiarkan kami bercerai? Mengertilah, Ma. Hanya Mama y
Read more
Part38
Malam ini juga aku dan Mama pergi menuju ke Rumah Sakit. Dengan diantar Mas Deni tentunya. Dia buru-buru datang setelah Mama menyuruhku mengabari dan meminta bantuannya untuk mengantar kami.“Apalagi sih yang terjadi sama mereka, sampai Silvi masuk Rumah Sakit lagi.” Mama menggerutu dengan cemas. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arahku yang duduk di kursi penumpang seorang diri. Aku juga tak kalah cemas. Suara Mas Raka pun terdengar begitu khawatir. Apa mereka bertengkar lagi? Bukankah aku yang menjadi sumber masalah mereka sudah angkat kaki dari rumah itu? Lalu, apa lagi yang mereka ributkan?Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kandungan Mbak Silvi tak kenapa-napa. Jika tidak, Mbak Silvi pasti akan bertambah stres, dan bisa saja menjadi depresi. Kalau begini, semua akan semakin bertambah rumit saja. Proses perceraian yang harusnya bisa rampung setelah Lara baikan, malah bertambah panjang lagi urusannya karena Mbak Silvi sedang sakit.Kami pun sampai. Mas Raka sedang duduk dengan t
Read more
Part39
“Maafin Mbak ya, Delima. Mbak udah terlalu jahat sama kamu. Kamu pasti sangat terkejut mendengar pengakuan Mbak waktu itu. Mbak memang pantas mendapatkan hukuman dari Tuhan. Sikap serakah Mbak yang membuat kamu dan Mas Raka jadi menderita seperti ini.”Ternyata Mbak Silvi belum juga mengetahui, kalau aku sudah tahu sejak awal tentang rencananya. Biarlah aku dan Mas Raka saja yang tahu soal ini. Tak perlu lagi kami ungkit-ungkit, yang nantinya akan membuat Mbak Silvi semakin merasa bersalah.“Delima udah maafin kok, Mbak. Delima udah melupakan semuanya. Delima nggak marah sama Mbak Silvi. Ini sudah takdir, Mbak. Kita jadikan pelajaran aja, ya. Setelah ini, kita mulai lagi kehidupan yang baru ya, Mbak. Anggap aja Delima sebagai adik Mbak. Kapan pun Mbak butuh teman bicara, Mbak bisa nelepon Delima.”“Nggak, Delima. Semua udah nggak lagi sama. Dan Mbak sudah menyadari itu. Mas Raka tetap nggak mau cerai dari kamu. Dan Mbak ikhlas, kalau kamu terus menjadi istrinya Mas Raka. Kita bisa jal
Read more
Part40
Aku menggeleng dengan cepat. Merasa semua orang sedang mempermainkan kehidupanku. Aku melangkah mundur menjauh darinya. Merasa kalau pembicaraan ini seperti sebuah perintah, hanya demi keuntungan sepihak saja."Kamu mau kan, Delima? Kamu bisa kembali lagi ke rumah. Atau kalau kamu masih merasa sakit hati sama Mbak, kamu boleh menerima tawaran Mas Raka untuk tinggal di rumah yang berbeda. Mas Raka akan membelikan kamu rumah di mana pun kamu mau. Kamu juga punya hak untuk menerima apa pun pemberian Mas Raka, Delima." Dia terdengar begitu antusias. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bisa bangkit. Aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukannya. Napasku naik turun menyaksikan perjuangannya agar bisa bergerak. Hingga akhirnya dia berhasil untuk duduk, dengan kaki yang menjuntai dari ranjang."Delima. Kembalilah. Kita pulang sama-sama, ya?" Dia mencoba untuk tersenyum."Hentikan, Mbak!" Aku spontan berucap dengan keras. Mbak Silvi terdiam menatapku yang sebelumnya tak pernah bersikap sekasar
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status