Semua Bab Suamiku Menikah Lagi di Vila Milikku: Bab 91 - Bab 100
132 Bab
Hutang Penjelasan
Bara terus melajukan mobilnya tanpa arah. Dirinya bingung mau ke mana. Jadilah dia menyetir asal. Cuaca di luar juga begitu panas, sepanas hatinya sekarang. Berkali-kali Bara memukul setir mobil penuh emosi. Dari tadi pagi, ada saja yang membuatnya marah. Mulai dari Cintya, mandornya, hingga Aisya. CiitMobilnya mengerem mendadak. Hampir saja dia menabrak pejalan kaki yang tiba-tiba muncul. Suasana mendadak ramai. Beberapa orang berkerumun di sekitar kejadian. Ada yang menggedor pintu mobil, meminta Bara segera turun. Bara membuka pintu mobil. Sudah banyak orang yang berkerumun. "Tanggung jawab, Pak," geram sesebapak yang sedang berkerumun. "Iya, harus tanggung jawab," sahut yang lainnya kompak.Riuh rendah mulai terdengar. Bara mencoba menyibak kerumunan warga. "Lihat itu, sampai berdarah!" Pikiran Bara mulai tak enak. Separah itukah korbannya? Perasaan tadi tidak sampai menabrak. "Masukkan ke mobil, biar saya yang bertanggung jawab pengobatannya," ujar Bara spontan. Dia sada
Baca selengkapnya
Aisya Masuk Rumah Sakit
Tidak biasanya Bara pulang sampai selarut ini. Minimal dia akan memberi kabar, kalau pulang telat. Cintya kembali menuruni anak tangga. Dia teringat, kalau pintu depan belum tertutup. Saat melewati kamar Aisya, tiba-tiba Cintya ingin masuk, tapi ragu. Berkali-kali ia meyakinkan diri. ClekAkhirnya Cintya memasuki kamar, di mana madunya tidur. Dengan langkah pelan, dia memindai isi kamar. Berkali-kali ia menguatkan hati, saat melihat ranjang. Ia dibayang-bayangi rasa cemburu, saat suaminya dan Aisya bergumul di atas ranjang itu. Namun, dia segera menepis jauh-jauh rasa cemburu. Tujuannya ke sini, hanya mencari tahu keberadaan suaminya. Dia kembali menelfon nomor Bara. "Pantas saja enggak diangkat." Cintya menemukan ponsel Bara tergantung di saku baju dan baju itu menggantung di kursi.Dia membawa ponsel Bara keluar kamar. Dijatuhkan bobotnya di sofa empuk, depan televisi. Cintya berbaring, karena capek mondar-mandir enggak jelas dari tadi. Cintya membuka ponsel suaminya, yang tak
Baca selengkapnya
Sedih atau Bahagia
"Sayang, ada umi dan Cintya di sini," bisik Bara. Aisya sudah tak mampu berucap. Dia begitu lemah. Nafasnya berat. Umi Khofsoh mendekat. Diletakkan tangannya di atas kening Aisya. Mulutnya merapal do'a, agar sang menantu cepat sembuh. "Sudah makan?" tanya Bara lembut. Dia memeriksa makanan yang diberikan dari pihak rumah sakit. Aisya hanya menggeleng. "Makan dulu, ya!" bujuk Bara. Lagi-lagi, Aisya menggeleng. Cintya memperhatikan Bara yang begitu lembut memperlakukan Aisya. Ada sedikit nyeri di hatinya, tapi ia segera menepisnya. Andai dia yang sakit, pasti Bara juga memperlakukan hal yang sama. KrietPintu kamar mandi terbuka. Seorang wanita paruh baya keluar, dengan wajah segar. Dari wajahnya, umi Khofsoh tahu, kalau itu ibunya Aisya. Terlihat dari garis wajahnya yang begitu mirip. "Oh, ada tamu? Maaf saya tidak dengar," ujarnya ramah. Lalu, menyalami Cintya dan umi Khofsoh. Mereka berdua menerima uluran tangan ibu Aisya, seraya tersenyum ramah. Ibu Aisya memandangi kedua t
Baca selengkapnya
Diamnya Cintya
Dua malam dirawat, kondisi Aisya mulai membaik. Dua hari itu pula, Bara tak pulang sama sekali. Waktunya ia habiskan untuk menemani Aisya, bergantian dengan ibu mertuanya. Aisya juga sudah mulai mau makan, meski hanya sedikit. Setidaknya ada asupan tenaga yang masuk. "Umi, apa dulu pernah berniat cerai dari abah?" tanya Cintya, saat mereka tengah membersihkan taman. Cintya memangkas tangkai bunga yang layu. Sementara umi Khofsoh mencabut rumput liar.Mendengar pertanyaan menantunya, umi Khofsoh menghentikan aktifitasnya. Dia menatap lekat Cintya. Dia lantas membersihkan tangan, lalu duduk di ayunan. Cintya juga menghampiri umi. Dia mengusap peluh yang menetes di dahi, dengan punggung tangan. "Apa sudah menyerah, Nduk?" Umi Khofsoh justru balik bertanya. Cintya menunduk dalam. Jemari tangannya bertaut satu sama lain. Entah kenapa, dia justru deg-degan. "Umi dulu mengetahui abah menikah lagi, saat Bara sudah dalam kandungan. Belum lama dari kelahiran Bara, abah sudah meninggal. All
Baca selengkapnya
Saraba
Bara berjalan ke teras. Dihempaskan bokongnya di kursi kayu, sambil terus menatap pintu gerbang. Berharap, sang istri segera datang. Berkali-kali ia mengembuskan nafas gusar, karena Cintya tak kunjung datang. Lebih dari lima belas menit menunggu, Bara memutuskan ke dalam. Tepat saat dia berdiri, mobil Cintya memasuki halaman. Bukannya senang, Bara justru semakin kesal. "Jam berapa ini?" bentak Bara saat Cintya baru saja memijakkan kaki di halaman. "Kapan datang, Mas?" "Aku tanya, sekarang jam berapa?" tanya Bara penuh penekanan. Cintya lantas mengambil ponsel yang ia masukkan dalam tas kecil. Jam di layar ponselnya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat lima belas menit. "Sudah tahu kan, ini jam berapa? Kenapa baru pulang?" Bara menatap tak suka. "Aku habis dari pesta temanku, Mas. Kamu jangan berlebihan!" Cintya malas berdebat. Dia juga lelah. "Sampai selarut ini?" Bara masih belum puas. Dia terus mencerca pertanyaan kepada istrinya. Bip bipCintya mematikan alarm dari remot
Baca selengkapnya
Aku Tak Tahan
"Kamu ke kampus jam berapa?" tanya Bara, sambil mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. "Jam sepuluhan." "Oh." Cintya melirik Bara sekilas. Wajahnya tampak lebih segar daripada kemarin. "Mau ke rumah sakit, lagi?" "Iya. Mungkin nanti sore sudah dibolehkan pulang," ujarnya sambil meletakkan handuk di sandaran kursi. "Apa Kamu buru-buru?" tanya Cintya ragu. "Kenapa?" Cintya diam sejenak. Dia ragu, untuk melanjutkan obrolannya. "Ah tidak, kapan-kapan saja kita bicarakan!" ujar Cintya sambil berlalu. Tak dinyana, Bara mencekal lengannya. Ditatapnya manik mata Cintya. Cintya reflek mengalihkan pandangan, karena dia tak sanggup harus bertatapan dengan Bara. "Ada apa? Bicaralah!" Bara mendudukkan Cintya di tepi ranjang. "Pergilah! Mungkin Aisya sudah menunggumu!" Cintya seolah menghindar. Bara menggeleng. Dia memaksa Cintya untuk bicara. "Aisya lebih membutuhkanmu, daripada aku," ujar Cintya dengan seulas senyum yang dipaksa. Bara menggenggam tangan Cintya
Baca selengkapnya
Terulang Masa Lalu
"Cintya!" Suara Bara memenuhi semua penjuru rumahnya. Namun, Cintya tak peduli. Dia terus melenggang, meninggalkan Bara yang sedang kesal. Umi Khofsoh dan mbah Yah, yang sedang di dapur, sontak menoleh, mendengar keributan dari atas. Namun, mbah Yah berpura-pura tak mendengar. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya. Begitupun dengan umi. Sebisa mungkin dia terlihat tenang, di hadapan mbah Yah, padahal hatinya sedang bergemuruh hebat.Bara mengejar Cintya yang terus berjalan keluar. Emosinya semakin membuncah, karena Cintya mengabaikannya."Mau ke mana?" Cintya tetap tak menjawab."Lepas!" Cintya berontak, saat Bara mencekal tangannya. Semakin dia berontak, Bara semakin erat mencengkeram tangannya. "Kamu tidak boleh keluar rumah, tanpa seizinku!" Bara menatap tajam Cintya. Cintya memutar bola mata malas. "Aku suamimu. Berhak melarang!" ujar Bara jumawa."Baiklah. Aku izin keluar!" sahutnya malas. Bara menggeleng, tanda tak mengizinkan istrinya pergi. "Aku sudah izin, tapi Kamu yang
Baca selengkapnya
Keceplosan
Beberapa hari, Bara tak pulang ke rumah. Sudah dipastikan, dia pulang ke rumah Aisya. Selama itu pula, Bara tak memberikan kabar sama sekali. "Umi jadi mau menginap di vila?" tanya Cintya sore itu. "Enggak nunggu Bara?"Cintya tersenyum miris. "Dia sedang sibuk dengan Aisya, Mi. Kita ke sana berdua saja," usul Cintya. Umi Khofsoh ragu. Dia termenung agak lama. "Kalau enggak bisa, enggak apa-apa, kok, Mi," ujar Cintya dengan nada kecewa. Dia sudah tak sabar untuk menemui pak Udin. Dia ingin mengetahui semua tentang Aisya. Umi Khofsoh menangkap kekecewaan dalam wajah anak menantunya. Dia merasa tidak enak. Dulu, dia yang memintanya diajak ke vila. Namun, saat kesempatan itu datang, justru dia tolak. "Umi siap-siap dulu, ya. Apa saja yang mau dibawa?" tanya umi Khofsoh semangat. Dia tak tega mematahkan hati Cintya. Selama ini, Cintya tak pernah mengecewakannya. Senyum Cintya langsung merekah. Terpancar jelas, binar bahagia dari wajahnya. "Beneran, Mi?" Cintya memastikan. Umi Kh
Baca selengkapnya
Jangan Mengelak
"Pak Udin tidak bisa mengelak lagi." Cintya berkata serius. Tanpa diminta, pak Udin justru memulai pembicaraan tentang Aisya. Padahal, dia sedang menyiapkan siasat, agar pak Udin mau cerita. Sekarang Cintya tak perlu bersusah payah memancing pak Udin. "Saya ambilkan gula dulu, Bu. Tadi belum ada gulanya," kilahnya mencoba menghindar."Enggak usah, Pak. Rasanya lebih enak kalau tanpa gula."Cras!Tangan pak Udin tergores parang, saat dia membelah durian. Darah segar mengalir dari luka, yang sepertinya cukup dalam."Ya Allah," pekik umi Khofsoh, saat melihat darah yang keluar cukup banyak. "Bapak lebih rela melukai tangan, daripada harus jujur sama saya," cibir Cintya, karena dia tahu, pak Udin hanya mengulur waktu. "Saya bersihkan luka dulu!" Pak Udin mencoba pergi. "Ada kran di situ, Pak. Bersihkan di situ saja. Saya juga belum selesai bicara," tegas Cintya. Dia merasa kesal, karena pak Udin selalu menghindar, saat ditanya tentang Aisya. "Ada kotak obat juga, di dalam mobil."Pak
Baca selengkapnya
Pak Udin Dalangnya
Cintya memandang semburat jingga, yang tampak indah sore ini. Deburan ombak yang tak terlalu besar, menambah cantik pantai Malene di sore hari. "Waktu itu, saya menanyakan pekerjaan untuk Aisya. Dia sedang mencari tambahan, karena ibunya sedang sakit. Saya juga bilang, kalau yang mencari kerja perempuan yatim. Saya minta izin agar Aisya ikut kerja di sini dan bapak mengiyakan." Pak Udin bercerita panjang lebar. Cintya memejamkan mata sejenak. Dia kembali menguatkan hati, mendengar cerita pak Udin selanjutnya. "Lalu?" "Kurang lebih sebulan, Aisya ikut kerja membersihkan vila ini. Pak Bara juga memintanya untuk berjualan makanan, saat vila sedang ramai." Dada Cintya naik turun, menahan emosi. "Kenapa enggak bilang ke saya?" "Karena waktu itu, ibu jarang ke sini," ujar pak Udin takut-takut. Dulu, Cintya memang jarang ke vila, karena kesibukannya. Waktunya terkuras habis. Ditambah, Bara juga sedang sibuk mengurus proyek sampai luar kota. Sehingga ia menghabiskan liburannya han
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status