All Chapters of Suamiku Menikah Lagi di Vila Milikku: Chapter 71 - Chapter 80
132 Chapters
Sesalmu Tak Berguna!
Berbeda dengan Cintya, justru Bara merasa khawatir. Mendadak dia menjadi salah tingkah. Dia harus mencari cara, agar uminya tidak jadi ikut. "Nanti Cintya ajak jalan-jalan, terus menginap di vila."Bara menelan saliva dengan susah payah. "Kamu kenapa, Mas? Sakit?" tanya Cintya karena Bara banyak bengong sejak umi bilang mau ikut. "Ah ... aku mendadak sakit kepala," ujar Bara. Kali ini dia tidak berbohong. Mendadak kepalanya menjadi sakit, memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. "Aku pinjam ponselmu, buat pesan tiket. Yang tadi belum dibayar, kan?" Cintya menengadahkan tangan, meminta ponsel Bara. "Biar aku saja yang cari." Bara seolah berat, meminjamkan ponselnya pada Cintya. Alih-alih marah, Cintya justru tertawa dalam hati. Suaminya jelas sedang memikirkan cara untuk menggagalkan rencananya. Namun bukan Cintya, kalau harus menyerah begitu saja. "Ya sudah, aku mau bantu umi persiapan saja. Ayo Umi!" ajak Cintya. Umi Khofsoh menurut. Dia mengekor Cintya yang berjalan menuju k
Read more
Memaksa Percaya
Bara mencoba meraih tangan Cintya, tapi gerakannya kalah cepat. Cintya justru mengibaskan tangannya. Cintya mengambil map dan memasukkan kembali hasil USG-nya. Diraihnya koper kecil di samping lemari. Dia menyimpan map di dalam koper. Lalu, Cintya membuka lemari. Dia memasukkan beberapa baju. "Aku janji, akan memperbaiki semuanya dari awal," ujar Bara sungguh-sungguh. Cintya tak menyahut. Dia masih sibuk memasukkan bajunya dengan kasar ke dalam koper. "Cintya." Bara menghampiri Cintya. Diangkatnya koper yang sudah penuh ke atas ranjang. "Jangan paksa aku mempercayai janji palsumu.""Tolonglah! Kali ini aku serius." Bara frustasi, karena Cintya masih saja susah diatur. "Jam berapa besok?" tanya Cintya dingin. Bara mengeluarkan ponselnya. Dia harus mencari jadwal penerbangan lagi. Tak mungkin dia mencegah umi untuk ikut. Lagipula, istrinya juga butuh bimbingan dari umi selama masa kehamilan. Lagi, terpaksa ia harus mengalah. "Jangan bilang Kamu belum memesannya?" tanya Cintya p
Read more
Gelenyar Aneh
Umi Khofsoh mengedarkan pandangan, melihat hilir mudik manusia di bandara Juanda. Cintya terus memegang tangan mertuanya, agar tak kehilangan jejak. Mengingat, sang mertua jarang bepergian jauh. "Tangan Umi dingin sekali. Umi sakit?" tanya Cintya dengan wajah khawatir.Bara yang mendengar percakapan antara istri dan uminya ikut menyimak. Namun tatapannya tertuju pada layar benda pipih yang dipegangnya. "Sudah lama umi enggak naik pesawat. Agak takut saja."Cintya tersenyum mendengar jawaban mertuanya. "Diminum dulu, Umi." Cintya menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel. "Nanti saja. Takut beser," bisiknya ke telinga Cintya. Cintya hanya mengangguk seraya tersenyum. Dia melirik jam di pergelangan tangannya. "Aku angkat telfon sebentar." Bara berdiri. Sepertinya hendak mengangkat telfon penting. Cintya bisa menerka siapa yang menelfon suaminya. Namun, lagi-lagi dia harus bersikap biasa di depan mertuanya. Umi dan Cintya menghabiskan waktu dengan mengobrol. Umi bercerita
Read more
Pesan di ponsel Bara
Cintya baru sadar, kalau pesawat akan mengudara, saat lengannya digenggam umi agak kuat. Cintya lantas mengelus punggung tangan sang mertua dengan lembut. Benar saja, perlahan genggaman itu mulai mengendur. Cintya berhasil, membuat uminya lebih tenang. "Umi tidur saja. Nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan," ujar Cintya. "Mau pakai jaket, Mi?" tawar Bara. Umi hanya menggeleng. Dia menurut. Perlahan ia memejamkan mata. Perjalanan antara Surabaya ke Makasar memakan waktu sekitar satu jam setengah. Setelah transit di bandara Sultan Hasanudin Makasar, barulah mereka melanjutkan perjalanan lagi ke Palu. "Sepertinya kita menginap dulu di Palu, karena penerbangan ke Tolitoli baru ada besok," ujar Bara. Penerbangan dari kota Palu ke Tolitoli memang tidak setiap hari ada. Hanya ada dua kali dalam seminggu. "Kita mendarat saja naik mobil," usul Cintya. Dia ingin segera sampai rumah. "Tidak. Kasihan umi dan juga Kamu. Lagipula, aku enggak mau terjadi apa-apa sama anak kita. Meskipun
Read more
Berbohong
"Sayang ...." Bara tak kalah panik. Dia bingung, apa yang telah terjadi pada Cintya. Perasaan, saat ditinggal istrinya masih baik-baik saja. Namun, saat mereka kembali, Cintya sudah menangis tersedu. Cintya langsung menghambur ke pelukan umi Khofsoh. Sang mertua yang tidak mengerti apa-apa juga bingung. "Ceritalah, Nduk. Ada apa?" tanyanya dengan sabar.Dia membelai lembut punggung sang menantu. Cintya bukan hanya seorang menantu. Bagi umi Khofsoh, dia sudah seperti anak kandung, yang setiap duka dan laranya umi Khofsoh ikut merasakan. Cintya masih saja tergugu. Bara melihat tangan Cintya, yang menggenggam ponselnya. Secara perlahan, dia mengambil benda pipihnya dari genggaman Cintya. Aisya. Bara melihat nama Aisya di urutan pertama, pesan di aplikasi hijau. Namun kosong. Tak ada pesan apa-apa dari Aisya. Lantas, apa yang membuat Cintya sampai menangis begitu? Setelah tangisnya mereda, Cintya melepaskan pelukannya pada umi Khofsoh. Dia mengelap pipinya yang basah dengan ujung jil
Read more
Umi Curiga
"Umi duduk di tengah saja, ya. Di samping mas Bara. Katanya umi takut lihat bawah," ujar Cintya saat mereka hendak melanjutkan perjalanan ke kota Palu. Bara hanya menatap Cintya heran. Kelakuan Cintya semakin aneh, seolah dia ingin menghindar darinya. Untung saja umi menurut, tak banyak tanya. Sehingga mereka tak perlu menyiapkan jawaban palsu. Kali ini umi Khofsoh tak terlalu takut seperti tadi. Dia melakukan hal yang sama, saat penerbangan dari Surabaya ke Makasar. Sepanjang perjalanan, mereka lebih banyak diam. Ketiganya mencoba memejamkan mata, sekedar untuk mengistirahatkan raga yang mulai lelah. Meskipun tidak benar-benar tidur, setidaknya mereka bisa mengistirahatkan jiwa dan raga yang lelah. "Saya agak pusing, Mi." Cintya menyandarkan kepalanya yang terasa berputar. "Bara, ini Cintya pusing lho," ujar umi Khofsoh panik. Bara langsung menoleh ke istrinya. Dia melihat Cintya bersandar dengan mata terpejam. "Sabar ya, sebentar lagi kita sampai. Mau dimintakan obat?" Cinty
Read more
Firasat
Jantung Bara berdegup lebih kencang dari biasanya. Melihat uminya mendelik penuh selidik, nyali Bara menciut. "U ... Umi kok sudah di sini? Cintya mana?" gugupnya. Kentara sekali kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Umi tanya, Kamu telfonan sama siapa?" tekan umi Khofsoh. Nalurinya mengatakan, kalau sedang ada yang ditutup-tutupi oleh anaknya. "Teman, Mi.""Mana ada teman manggil sayang?"Bara menunduk. Dia tak berani menatap mata uminya. "Teman lama, Mi. Sudah lama enggak ketemu," alibinya. Umi Khofsoh menggeleng tak percaya. "Anak umi tidak pernah bisa berbohong," lirih uminya. Umi Khofsoh lantas duduk di kursi berbentuk kayu bulat. Bara menjadi salah tingkah. Memang benar, dia tak pernah bisa berbohong di depan uminya. Namun, dia juga tak mungkin berkata jujur. Setidaknya untuk sekarang. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bara bingung, harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara umi Khofsoh, sibuk menerka, dengan siapa putranya telfon. "Umi, s
Read more
Kota Kecil
Gema adzan Dhuhur menyambut kedatangan mereka di kota Cengkeh. Umi Khofsoh memperhatikan sekeliling bandara yang sepi. Hanya ada beberapa penumpang dan petugas yang berseliweran. "Kok sepi sekali?" tanya umi Khofsoh heran. Baru kali ini dia melihat bandara yang tak terlalu ramai. Tiga bandara yang dia lalui tak sesepi di sini. "Maklum Mi, ini kota kecil. Jadi, penerbangan tak seramai kota lain," jelas Bara. "Vilanya sudah dekat dari sini, di sebelah sana!" Cintya menunjuk arah utara. Umi Khofsoh mengikuti telunjuk Cintya, namun yang terlihat hanya pagar bandara. "Mbah Yah sudah dihubungi, Sayang?" tanya Bara, sambil melingkarkan tangan di pinggang ramping istrinya. "Sudah, Aisya juga sudah aku hubungi," jawab Cintya santai. Namun justru Bara kepanasan. Untung saja uminya sibuk melihat pemandangan sekitar, jadi tidak mendengar percakapan mereka. "Jemputannya mana?" tanya umi."Masih di jalan, Mi. Sebentar lagi sampai."Tak sampai sepuluh menit, mobil jemputan sudah datang. Bara m
Read more
Pengakuan Menyakitkan
Bara langsung menghampiri Cintya, setelah transaksi dengan sopir rental selesai. "Akhirnya rumah ini akan rame, Mbah," ujar Bara sambil memeluk istrinya dari samping."Alhamdulillah, mbah ikut senang dengarnya. Mari duduk dulu, saya ambilkan minum." Mereka duduk di kursi ruang tengah. Umi Khofsoh memperhatikan interior rumah anaknya, yang tampak rapi. "Umi nanti tidur di kamar ini, ya! Aku sama mas Bara di kamar atas," ujar Cintya sambil membukakan kamar di samping ruang keluarga. Umi Khofsoh mengikuti Cintya. Lampu dinyalakan. Cintya sudah meminta mbah Yah untuk membersihkan kamar ini sebelumnya. "Kamar yang di sebelah punya siapa?" tanya umi Khofsoh, menunjuk kamar yang terletak persis di sebelah kamarnya. "Itu kamar tamu, Mi. Kalau ada tamu yang menginap, tidurnya di situ." Umi Khofsoh hanya mengangguk. "Umi istirahat saja kalau capek.""Umi mau sholat dulu.""Habis sholat kita makan siang bareng, Mi. Sepertinya mbah Yah sudah masak.""Iya Nduk."Cintya melongok ke dalam ka
Read more
Terbongkar
"Umi ... Umi kenapa?" teriak Cintya histeris.Sejurus kemudian, tubuh umi Khofsoh hampir limbung. Untung saja Cintya dengan cepat menangkapnya, sehingga tidak sampai jatuh. "Mas, cepat angkat umi!" Cintya semakin panik, karena umi tak sadarkan diri. Bara langsung mengangkat tubuh kecil uminya ke kamar. Mbah Yah dan Cintya tergesa-gesa mengikuti dari belakang. "Umi, bangun Mi!" Bara menepuk pelan pipi wanita yang di telapak kakinya ada surganya."Mbah, tolong carikan minyak kayu putih," perintah Cintya dengan nada bergetar karena khawatir. Baru kali ini dia melihat umi tak sadarkan diri. Mbah Yah tergesa mengambil minyak kayu putih di kotak obat. "Ini Bu."Cintya mengolesi jarinya dengan minyak kayu putih, lalu mendekatkan ke hidung sang mertua. "Bagaimana ini, Mas?" panik Cintya, karena umi juga belum sadar. Bara terus menepuk pelan pipi uminya. Cintya kembali mendekatkan ujung minyak kayu putih ke hidung umi. Setelah beberapa menit, usahanya berhasil. Umi mengerjap lalu matany
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status