All Chapters of Pernikahan Suami di Rumah Mertua : Chapter 61 - Chapter 70
80 Chapters
Kembali ke Kampung Halaman
“Menurut Bibi–apakah aku terlalu kejam pada putriku?” Mayang menyeruput secangkir teh chamomile yang masih hangat. “Mirna menolakku.” Ia meletakkan kembali cangkirnya di atas meja dengan air muka murung. “Entahlah, Bu. Terkadang anak sering salah mengartikan kasih sayang seorang Ibu. Alih-alih menganggapnya sebagai peringatan, mereka menganggap itu hukuman bahkan kebencian.” Bibi segera undur diri dari hadapan Mayang, ia tidak ingin berkata lebih banyak karena khawatir salah bicara. Butiran beningnya kembali jatuh. Hatinya pun mungkin sedang terkoyak. Atau menyembunyikan luka yang sangat dalam atas sikap buah hatinya. Ia mencemaskan keadaan Mirna tetapi secara terang-terangan, wanita muda itu menepisnya. Melihat majikannya tampak terguncang, wanita itu hanya bisa melihatnya dari balik dinding dapur. Meskipun ingin menghiburnya, tetapi hatinya ragu. Bagaimana pun ia hanya seorang ART yang tidak pantas menasihati majikannya. Sebab ia dibayar bukan untuk itu. Terkadang nasihat baik t
Read more
Pelipur Lara Jiwaku
Udara pagi yang sejuk menyusup masuk hingga ke setiap sel pada isi kepalanya. Alirannya mampu menyegarkan kembali pikiran yang tadinya terasa sangat pengap. Mayang menikmati langkah demi langkahnya menyusuri jalan desa. Di kanan kirinya masih sangat asri. “Gak banyak berubah ya, Mbok?” Air muka Mayang tampak senang, ada binar bahagia terpancar dari sepasang matanya. “Beginilah, suasananya masih cenderung sama.” Mbok Juminah tampak tersenyum. “Tapi waktu itu belum ada pasar, bukankah Mbok harus ke kota kecamatan dulu kalau mau belanja?” Mayang kembali mengenang masa lalunya. “Iya–Apa Ndoro masih ingat waktu dulu sering ikut Mbok Nah ke tempat adiknya Mbok?” Wanita tua itu tersenyum memicingkan matanya hingga kulit di sekitarnya semakin mengerut. “Ohh–yang sering main engklek bareng saya ya, Mbok?” Mayang pun tersenyum mengenang masa kecilnya. “Iya. Juminem namanya, tinggal tidak jauh dari sini.” Mbok Juminah menunjuk ke arah kampung terdekat dari tempat mereka berjalan. Mayang
Read more
Menari di Tengah Hujan
“Lalu–bagaimana dengan Mirna?” Kemala menatap Mayang, ia ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Mayang. “Mungkin dia lebih memilih hidup di sisi Herdian meskipun ia tahu dirinya dimanfaatkan.” Mayang menahan air matanya yng hampir jatuh. “Apakah dia tahu? Saya-lah wanita lain yang dimiliki Herdian meski sekarang tidak lagi.” Kemala beranjak dari tempat duduknya, ia mengambil Dylan yang sedang bermain di lantai. “Tidak. Sampai saat ini saya belum memberitahunya. Saya hanya bilang bahwa dia–wanita kedua dalam hidup Herdian,” sangkal Mayang, ia tersenyum ke arah Dylan. “Apakah dia percaya?” Kemala memapah Dylan yang mulai belajar berjalan. “Dia tidak akan pergi jika dia mempercayai saya. Padahal saya ibunya.” Mayang meletakkan cangkir kosongnya di atas nampan. Mayang merasa cukup dalam percakapan tersebut. Walaupun masih ingin kembali seperti sebelumnya. Ia tidak akan meminta Kemala untuk kembali. Hari itu, ia memutuskan meninggalkan kampung halamannya setelah tinggal selama 3 ha
Read more
Namamu Tak Lagi Membuatku Tersenyum
 Malam itu, Mirna sudah menyiapkan makanan untuk menyambut Herdian. Seperti permintaan ibu mertuanya, ia memasak makanan yang berbeda dari biasanya. Upah mencuci yang ia terima tadi sore, ia habiskan untuk berbelanja lauk dan sayur. Namun tanpa cake karena memang tidak ada uang lagi untuk membelinya. Yana terlihat masih kesal, ia masih bersikeras ingin memberikan cake untuk Herdian. Padahal tak ada uang untuk itu. Jika sebelumnya, Mirna merasa bingung setiap kali mendapat perlakuan tidak ramah dari Yana, sekarang tidak lagi. Ia tidak peduli apakah Yana bersikap acuh padanya atau tidak. Mirna tidak akan lagi berdiam diri saat dirinya merasa diinjak-injak. Ia tidak lagi punya alasan untuk menyenangkan hati suami dan ibu mertuanya. “Herdian ....” Yana menghampiri putra tunggalnya yang baru saja masuk ke dalam rumah. “Apakah ibu bahagia?” tanya Herdian, senyum di wajahnya seolah ingin menceritakan bahwa ia sedang gembir
Read more
Sampai Hari Itu Tiba
Sebenarnya, rasa takut mulai menyelimuti pria itu sejak dirinya menerima perintah untuk menjemput Mirna. Sebab ia tahu, saat itu sesuatu pasti terjadi padanya. Mirna selalu berkata bahwa waktunya sudah tidak lama lagi. Selain itu, ia pun bertekad untuk segera menyelesaikan suatu hal sebelum waktu menagih janjinya. “Suster, tolong selamatkan majikan saya!” Ia mendorong brankar bersama dua orang perawat menuju ke IGD rumah sakit. “Bapak, tidak diijinkan masuk. Kami akan melakukan yang terbaik.” Salah satu suster menahannya. Pria itu bingung harus melakukan apa, bagaimana mungkin ia merahasiakan keadaan Mirna dari Mayang. Jika terjadi sesuatu pada putri majikannya, tentu ia akan berada di posisi sulit. Menunggu para petugas medis melakukan tindakan awal terhadap Mirna, ia hanya bisa berjalan mondar mandir karena khawatir. Setelah berpikir keras, ia pun mengambil keputusan untuk memberitahu Mayang. Ia tidak mau kehilangan pekerjaan kalau terjadi sesuatu pada Mirna. Sedangkan istrin
Read more
Ternyata Kita Dipertemukan Lagi
Sedikit pun Mayang tidak bisa tenang sejak mendengar perkataan Mirna. Ia menunggu saat putri semata wayangnya membuka matanya kembali. Kadang kala ia terbuai pikiran konyolnya. Menukar tubuh Kemala dengan Mirna. Andai saja bisa, ia menunggu kesempatan saat dirinya mampu menggenggam pisau tajam yang mungkin akan menikam tubuh Kemala. “Maafkan aku–hanya dengan cara ini aku bisa menyelamatkan nyawa putriku.” Kalimat itu bahkan sempat terlintas di dalam benaknya yang sedang tidak waras. Mayang tidak hanya kehiloangan semangat ketika melihat tubuh putrinya terkulai lemah. Ia juga menjadi hilang kesadaran meskipun belum sepenuhnya. Mungkin begini rasanya seorang ibu yang putus asa atas keselamatan jiwa putrinya. Sementara Mayang sedang diliputi perasaan sedihnya. Kemala justru sedang mengalami hal sebaliknya. Beberapa hari setelah kembalinya Mayang ke kota, ia bertemu dengan pria yang pernah mengisi harinya. Pagi itu, cuaca sedang mendung. Kabut tebakl turun menghalangi pandangan. Kema
Read more
Latar Belakang Bramantyo
Nenek Tua itu menunggu sang cucu terprovokasi dengan kalimatnya. Tidak sabar melihat wanita muda tersebut segera membuang topengnya selama ini. Yah, Kemala memang kerap menutup wajahnya dengan topeng wanita tangguh. Dan–Ponirah tahu kalau sebenarnya hati cucunya begitu rapuh. “Semoga mereka berjodoh.” Ponirah bergumam dalam hatinya. Di kamarnya, Kemala sedang bersiap untuk menyambut kedatangan Bramantyo. Ia juga menjadikan Dylan, anak laki-laki yang mungkin akan menerima banyak pujian dari Bram. Meskipun merasa agak aneh, Kemala tetap ingin melakukannya. Merias dirinya untuk Bram, ini kali pertamanya. Wanita tua bernama Ponirah keluar dari kamarnya saat mendengar seseorang mengucapkan salam. Pria jangkung dengan rambut ikal yang diikat ke belakang itu tersenyum padanya. Sikap sopan dengan gaya bahasa yang santun membuat kesan pertama yang cukup baik. “Silahkan duduk dulu, Nak!” Ponirah meninggalkannya, lalu menuju ke kamar Kemala. “Nduk, ada tamu.” Ia mengintip di balik tirai.
Read more
Kemunculan Sosok Wanita Asing
 Pipinya basah, biji matanya memerah. Ada sebilah pisau yang berada dalam genggaman tangan dinginnya. Meski gemetar, ia tetap mencengkeram kuat benda tajam itu. “Nduk ... apakah ubinya sudah siap?” Ponirah menoleh ke arah Kemala yang masih melamun. “Airnya sudah mendidih!” serunya. Wanita tua yang sejak tadi duduk di depan tungku segera beranjak, menghampiri cucunya, lalu mengambil paksa wadah berisi ubi yang baru sebagian dikupas. Tanpa banyak bicara, sebilah pisau dalam genggaman Kemala direbut dengan hati-hati. “Emm ... Mala belum selesai mengupasnya, Mbah.” Ia baru tersadar dari lamunannya. “Sudah ... sudah ... kamu kerjakan yang lain saja.” Ponirah mulai mengupas ubi yang masih tersisa. “Oh ya, sepertinya susu Dylan habis. Kasihan, nanti dia tidak bisa tidur.” Kemala meninggalkan dapur menuju ke kamar tidurnya. Mengambil botol susu kosong milik Dylan
Read more
Mengoyak Luka Lama
"Rupanya buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya." Sekar berdiri menatap Bramantyo sambil mengangkat wajah. Ia memicingkan mata sambil menarik ujung bibirnya, mencibir lalu membuang muka penuh kesal. Dadanya masih naik turun menahan amarah yang susah payah ia sembunyikan. Sehingga wajah cantiknya tampak pudar oleh keangkuhan. Bramantyo menoleh ke asal suara. Pun Kemala yang turut menatap heran atas kedatangan wanita paruh baya itu. Mereka masih tertegun, menoleh satu sama lain. "Marco! Tolong jelaskan, apa semua ini!" Bramantyo beralih menatap Marco yang berdiri mematung di samping Sekar. Tanpa mengatakan apapun, Marco memilih tetap berada di sisi Sekar. Seolah hatinya telah membunuh persahabatan mereka, ia lebih takut kehilangan semua yang telah diberikan Sekar daripada menunjukkan kesetiakawanan-nya pada Bram. Tentu hal itu membuat Bramantyo geram, rahangnya mengeras, kedua tangannya pun mengepal. "Tidak perlu heran, Marco memang orangku, aku sengaja menyuruhnya berada di dek
Read more
Menyingkap Tabir Penyesalan
Marco terdiam, bibirnya terasa beku hingga tidak dapat mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan pamannya. Terlebih lagi ia tidak ingin dianggap kembali mengkhianati Bramantyo. Pada akhirnya, Marco memutuskan untuk menyimpan sendiri apa yang sempat ia dengar dari pembicaraan singkatnya dengan si Penelpon, dia tak lain adalah Sekar Yulinda. “Apa ada masalah?” Yos bertanya lagi, “Mukamu kelihatan bingung.” Ia memperhatikan jalanan di depannya. “Tidak–tadi ada kabar dari kurator agar disampaikan pada Bram,” sangkal Marco, ia sambil membetulkan kacamatanya. Selama di perjalanan, Marco tidak banyak bicara. Begitu dirinya sampai di rumah, ia kembali merogoh ponselnya di dalam saku celana. Kemudian menghubungi Sekar lagi, sebelumnya ia memastikan bahwa Yos benar-benar telah pergi. Mimik wajah Marco terlihat serius. Sesekali ia mengangguk, terkadang juga hanya menjawab ‘iya’ atau ‘baik’, tidak banyak kata yang diucapkannya. Kali ini, durasi permbicaraan mereka terbilang agak lama dari
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status